Jumat, 22 Oktober 2010

Kumpulan Cerpen Remaja


BROKEN HEART
  
“Wahai Sungai, bawalah diriku bersama arusmu kemanapun itu. Angin, terbangkan jiwa dan ragaku sejauh mungkin. Ombak hempaskan aku kebatu-batu karang yang terjal itu. Jika memang bumi tak mau menelanku.”
Kekecewaan itu telah menghantarkanku pada keputusasaan. Kebimbangan atas kenyataan hidup yang selalu menusukku membuatku berfikir bahwa jalan yang terbaik adalah dengan mengakhiri semuanya. Sesaat aku terhenyak, setelah puas menerikkan kekesalanku. Tetesan air mata membasahi pijakanku, sebongkah batu besar di tepi jurang nan terjal. Sisa-sisa kesadaran masih menahanku untuk tidak lekas menjadi korban kelemahanku.
Aku tak tahu sampai kapan aku harus di sini, ataukah memang selamanya aku harus di sini dan haruskah ku akhiri hidupku di sini? Sekali melangkah pantang bagiku berbalik arah, aku hanya memiliki dua pilihan hidup atau mati di sini.
***
Alif..! alif..! terdengar dari kejauhan suara masyarakat, riuh memanggilku. Kiranya mereka datang untuk mencari dan mengajakku pulang. Di sela-sela kegelapan malam terlihat beberapa berkas cahaya dari obor yang mereka bawa yang takkan bisa menerangi hatiku yang gelap gulita.
Bayang-bayang jejak pilu kehidupan tetap menahanku, berdiam diri dan tak mempedulikan semua itu sampai mereka kembali dan tak pernah mencariku lagi. Perlahan terdengar suara itu semakin lirih bahkan tak terdengar lagi. Ya, mereka telah pergi meninggalkanku dan membiarkanku dalam kesendirian untuk memutuskan jalan hidupku.
Namun, aku tetap tak berbuat apa-apa, duduk di tempat yang sama dengan melipat kedua tungkai, merapatkannya ke dada dan menenggelamkan wajahku di antara keduanya. Sunyi dan dinginnya udara malam terasa kian menusukku. Namun, saying tusukan itu tak bisa membunuhku. Gelapnya malam menahan pandanganku hingga tak bisa melihat apa-apa. Namun, tak bisa menahan fikiranku untuk tetap memikirkan semua catatan kelam hidupku. Terutama kejadian siang.
***
 Kadang hati berkata bahwa itu tak mungkin, Namun firasatku berkata lain. Ternyata, wanginya memang tak hanya untukku. Rumput yang bergoyang menjadi saksi akan madu yang ia bagi pada 2 hati. Dimana janji ia kan setia menanti? Jika kini hatiku ia dustai, ia sakiti menjadi keeping-keping tak berarti. Mulut manisnya berucap bahwa ia ingin sediri, Namun ternyata hanya tuk berpindah ke lain hati. Kenyataan ini, kurasa bagaikan sambaran petir, yang menghanguskan hati, jiwa dan ragaku hingga tak bersisa lagi.
 Aku terima keputusannya yang mengatakan kepadaku, beberapa hari yang lalu, bahwa ia ingin sendiri dulu untuk beberapa waktu. “Bang, ma’afkan Ais, begitu biasanya ia menyebut namanya dan itulah sapaan akrabnya. Bisakah kita pending dulu hubungan kita? What happened, kenapa?, aku balik bertanya. Ah nggak, ais Cuma mau nenangin diri dulu beberapa waktu. Ada masalah apa sih aiiis? Cerita dong..!! kataku sambil menahan air mata dan berusaha untuk terlihat biasa. “nggak perlu abang tau biarlah permasalahan ini ais selesaikan sendiri.” Seperti hujan di siang bolong, bagaikan banjir di musim kemarau. Di saat-saat rasa saying ini tumbuh, di saat benih-benih cinta ini mulai bersemi, tiba-tiba tanah itu mongering hingga bunga cintaku layu sebelum berkembang. aku tak memiliki cukup harapan untuk dapat menunggu tanah itu subur kembali dan memberikan tempat untuk benih cintaku berdaun dan berbunga.
***
Belum genab 2 minggu kulalui hari-hari tanpa canda dan tawanya. Belum sempat kusimpan kebimbangan ku tanpa adanya jawaban. Namun, apa yang kulihat tadi siang telah memberikan penjelasan yang sangat jelas tentang mengapa ia menjauh dariku.
Dengan mengendarai kuda besi kulihat ia begitu mesra berboncengan dengan seorang lelaki yang bayangan dari sosoknya bukanlah untuk pertama kalinya menembus pupil mataku. Masih terrecord jelas di ingatanku ketika kira-kira 2 bulan yang lalu ia memperkenalkan lelaki itu kepadaku, “kenalkan bang, ini bang Ariel.” Oo, vocalis ya? Bukan bang, sekedar mirip nama dan wajah saja, bang ariel ini rekan kerja ais di PPMM. Perkenalan singkat itu cukup membuatku sadar bahwa lelaki itu secara fisik memang lebih semuanya dari aku.
Tidak puas, aku mengikuti mereka diam-diam. Sepanjang perjalanan aku lihat mereka begitu akrab dengan gelagat-gelagat tak ubahnya seperti sepasang kekasih. Akhirnya, di sebuah perempatan mereka berhenti, dan berjalan menuju sebuah warung kecil di pinggir sungai. Keyakinan ku semakin kuat bahwa mereka telah memiliki hubungan yang lebih dari sekedar rekan se-organisasi. Dari celah-celah dinding bambu warung tersebut kutajamkan pandanganku melihat sepasang kelinci yang hendak kuterkam dengan cakar-cakarku yang tajam. Dari jarak sejauh itu memang tak bisa kudengar dengan jelas tentang apa yang sedang mereka bicarakan. Tapi, aku dapat melihat dengan gamblang semua yang mereka lakukan. Perlahan tangan lelaki itu menyusuri pinggir meja yang terletak di depan mereka,dan seketika menggenggam jemari Aisyah. Sebuah kotak kecil ia keluarkan dari saku bajunya, kotak itu berisikan cincin yang kemudian ia pasangkan di jari manis Aisyah.
Rasa tak cukup tulangnya itu untuk kukunyah, begitulah luapan amarahku yang mengebu-gebu. Tanpa berfikir panjang lagi aku langsung masuk dan seketika mendaratkan speedku dengan kecepatan tinggi ke wajah lelaki keparat itu hingga tak ayal ia terkapar dengan darah yang menetes di hidungnya. Dan belum sempat ia bangkit, aku langsung menghadiahinya tendangan volley dari kaki kiriku, tendangan yang membuat ia terpental dan jatuh ke sungai. Amarahku belumlah reda, aku ingin semuanya selesai saat itu juga, namun, ketika aku hendak menyusulnya kesungai aisyah manarik ku dari belakang, ia memegang tanganku dengan genggaman yang sebetulnya tak cukup kuat untuk menahanku. Akan tetapai, tetesan air mata dan isak tangisnya melemahkan tulang-belulangku. Tak sepatah katapun bisa kuucap padanya tatapannya yang tajam mengunci mulutku. Emosi yang meronta di dada tak kunjung bisa kulontarkan padanya. Hingga akhirnya, memaksaku untuk berlari, pergi meninggalkan tempat itu. Aku lari dan terus berlari tanpa tahu kemana arah yang hendak di tuju, kutembus semak belukar, onak dan duri tak menghentikan langkahku. Hingga akhirnya aku sampai di sini, di bibir jurang yang terjal, haruskah aku meneruskan langkahku? Haruskah  langkahku berakhir di sini? Dan haruskah aku mengobati sakit hatiku dengan melakukan semua ini??

                                                                                                                  Pekanbaru, 24 Mei 2010    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar