Senin, 25 Oktober 2010

KEPERIBADIAN MELAYU

KEPERIBADIAN MELAYU


            Menurut Koentjaraningrat (1970: 130), ciri-ciri kepribadian orang Melayu ialah watak orang Melayu yang tampak pada umumnya (modal personality). Terbentuknya watak umum tidak lepas dari tuntutan norma adat-istiadat yang terdapat dalam masyarakat Melayu. Watak umum dan kepribadian orang Melayu yang dilukiskan di sini adalah watak kepribadian orang Melayu yang ideal, yang dianggap baik dan menjadi tuntutan adat-istiadat yang berlaku. Penonjolan watak kepribadian yang elok ini bukan berarti etnocentris, seperti “katak di bawah tempurung”, namun juga karena melihat watak-watak yang lemah atau buruk.

Dalam Kamus Antropologi (1979: 3) disebutkan bahwa yang dimaksud adat-istiadat Melayu adalah semua konsep serta aturan-aturan yang mantap dan terintegrasi kuat dalam system budaya orang Melayu, yang menata tindakan-tindakan anggota masyarakat dalam kehidupan sosial dan kebudayaan. Ciri kepribadian orang Melayu pada umumnya tidak lepas dari cara orang Melayu melihat dunia sekelilingnya, melihat dirinya sendiri, kesadaran agamanya, kesadaran terhadap kebutuhan hidup sehari-hari, kesadarannya di tengah-tengah orang lain dan orang asing, dan sebagainya. Semua itu mencetuskan sikap dan tingkah-laku orang Melayu dalam menghormati orang lain sesuai dengan tuntutan adat-istiadatnya. Hal ini perlu dikemukakan, karena banyak orang non-Melayu yang keliru menilai kepribadian orang Melayu. Kadang-kadang timbul salah pengertian atau kesengajaan dalam menilai kepribadian masing-masing. Melayu sering diartikan lari, ka-rena orang Melayu suka mengalah. Selain itu ada anggapan bahwa orang Melayu adalah perajuk, karena apabila tersinggung mereka suka menjauhkan diri. Orang Melayu juga sering disebut Melayu kopi daun dan sebagainya. Kata-kata ini selalu dilontarkan orang Belanda (pada zaman penjajahan) untuk menghina orang Melayu.
Tulisan tentang orang Melayu sudah banyak, baik yang berhubungan dengan sejarah Melayu, kepahlawanan orang Melayu, cendekiawan Melayu, kesusastraan Melayu ataupun yang lain. Akan tetapi penulis belum menemukan karya tulis yang khusus membahas ciri-ciri atau watak kepribadian orang Melayu. Penulis menyadari betapa sukarnya mengungkap dan memaparkan ciri-ciri kepribadian orang Melayu agar dapat diterima. Penulis perlu mempelajari kembali pengalaman pribadi masa kanak-kanak. Penulis dibesarkan dan dididik dalam lingkungan tradisi masyarakat Melayu. Penulis mencoba mengenang kembali kata-kata, pepatah-pepatah, sindiran-sindiran, pesan-pesan, petuah-petuah, larangan-larangan, hukum-hukum, teladan orang tua, puji-pujian, dongeng-dongeng yang diceritakan, dan sebagainya.


Dalam mengkaji watak umum kepribadian orang Melayu, penulis bertitik tolak dari sana. Dengan kata lain, penulis mempelajari diri sendiri sebagai orang Melayu. Setelah mempelajari pengalaman itu, penulis berkesimpulan bahwa ajaran orang tua kepada anaknya bertujuan agar anak menjadi orang yang selalu sadar diri, tahu diri, tahu diuntung, dan mempunyai harga diri. Keempat hal ini saling berkaitan dan selalu dipompakan kepada setiap anak.

Harga diri merupakan tonggak yang ingin selalu ditegakkan, agar setiap orang sadar diri dan tahu diri. Orang yang tidak tahu diri tidak akan pernah dapat mempertahankan harga dirinya. Orang yang tahu diri berarti tahu kedudukannya dalam keluarga; tahu hak dan kewajibannya di tengah-tengah keluarga; tahu asal-usul keturunan keluarga; tahu kedudukan diri dan keluarga di tengah-tengah masyarakat (bangsawan atau orang biasa); sadar sebagai orang tak punya; sadar akan kewajiban dan tata-tertib yang dituntut adatistiadat yang berlaku; tahu akan tugas yang dipercayakan; sadar akan kekurangan diri dari segi pengetahuan, pengalaman, keterampilan, maupun rupa (bentuk fisik); ikut merasakan orang yang susah dan sulit; sadar bahwa dunia dengan segala isinya adalah milik Tuhan; serta sadar bahwa hidup ini hanya sementara.

 Aspek tahu diri, sadar diri, sadar diuntung, dan mempunyai harga diri merupakan hal yang harus diajarkan kepada anak agar anak bertingkah-laku sesuai dengan tuntunan adat-istiadat yang berlaku. Dari keempat aspek tersebut muncul kemudian watak orang Melayu yang bersifat merendah, bersifat pemalu atau penyegan, bersifat suka damai atau toleransi, bersifat sederhana, bersifat sentimentil dan riang, dan bersifat mempertahankan harga diri.

2.1 Sifat Merendah

            Sifat merendah merupakan sifat yang menjadi tututan utama dalam pergaulan orang Melayu. Orang yang selalu merendah berarti tahu diri dan sadar diri. Sifat ini tercermin pada sikap yang tertib, sopan, dan hormat. Sikap-sikap tersebut tampak pada gerak-gerik dan tutur-bahasanya, terutama bila berhadapan dengan kaum kerabat atau anggota masyarakat yang lebih tua, bahkan terhadap orang asing. Sikap merendah tidak sama dengan sikap menghina-hina diri. Dengan sikap merendah, seseorang justru menjaga martabat (harga diri). Orang Melayu tidak mau dibenci masyarakat karena sikap dan tingkah-laku atau tutur bahasa yang tidak memperhatikan martabat diri. Sikap itu menunjukkan bahwa seseorang tidak tahu diri dan tidak tahu diuntung. Sifat merendah tampak jelas dalam pepatah Melayu (Ahmad, 1964: 43),

Bercakap biar ke bawah-bawah
Mandi biar ke hilir-hilir
Jangan bawa sifat ayam jantan
Tapi bawalah sifat ayam betina
Kalau pergi ke rantau orang

Sikap merendah orang Melayu tidak hanya ditujukan kepada orang yang lebih tua, orang besar, pemuka adat, dan alim ulama, tetapi juga ditujukan kepada penghuni alam sekelilingnya. Oleh karena itu, jika seseorang melewati tempat angker, ia akan merendah dengan berkata, “Tabik Datuk, anak cucu numpang lalu”. Menurut orang Melayu, dengan merendah, ia akan selamat. Seseorang yang takut seorang diri di laut atau di hutan, ia akan berkata, “Tabik Datuk, jangan ganggu, anak cucu mencari makan”.
Nama Melayu sering dikaitkan dengan sifat orangnya yang merendah, melayu-layukan diri seperti bunga atau daun yang layu, karena bunga yang kelopaknya layu pasti melempai atau terkulai ke bawah. Lawan dari sifat merendah adalah sifat yang suka menonjolkan diri, sombong, serta merasa serba pandai. Sifat-sifat ini paling dibenci orang Melayu. Orang Melayu tidak boleh telajak kata, tidak boleh hidung tinggi, tidak boleh hidup mengganjil, tidak boleh menunjuk pandai, tidak boleh berjalan mendada, dan tidak boleh songkok senget. Pendeknya, tidak boleh sombong dan besar cakap (Ahmad, 1964: 39). Sifat merendah juga tampak saat orang Melayu berkata mengajak tamunya makan, “Silakan jemputlah makan Encik. Tak ada apa-apa, makan tak belauk”. Padahal hidangan yang disajikan penuh dengan lauk-pauk. Jika mengajak tamunya singgah ke rumah, orang Melayu akan berkata, “Singgahlah Encik ke gubuk kami yang buruk ini”. Padahal rumahnya cukup besar dan perabotannya komplit. Kalau ingin berbicara, mereka selalu berkata, “Terlebih dahulu saya minta maaf”.


2.2 Sifat Pemalu atau Penyegan
Sifat pemalu juga bertolak dari sifat tahu diri, sadar diri, tahu diuntung, dan harga diri. Sifat pemalu merupakan sifat yang menjaga harga diri (martabat). Orang yang tidak tahu malu berarti tidak tahu diri dan tidak menghargai diri sendiri. Sifat pemalu tercermin dalam sikap dan tingkah-laku, seperti segan meminta bantuan, segan menonjolkan diri, segan mengadukan kesusahan, segan mengambil muka, segan berebut (tamak), segan mendahului orang tua, dan sebagainya. Oleh karena itu, orang Melayu tampak acuh tak acuh. Bagi yang tidak mengenal watak orang Melayu, tentu berpendapat bahwa orang Melayu kurang berambisi atau kurang bergairah. Oleh karena sifat pemalunya, orang Melayu tidak mau ditegur, dimaki, dan dicerca di hadapan orang banyak, dihina di hadapan orang banyak, dipermalukan di hadapan orang, dan dihina tanpa sebab.


Oleh karena itu, jika bergurau dengan orang Melayu harus berhati-hati jangan sampai ia merasa malu di hadapan orang, karena bila tersinggung, malu, atau merasa dihina (diruntuhkan air mukanya) di hadapan orang banyak, maka sifat segannya akan hilang. Bila sudah demikian, orang Melayu akan bereaksi dengan kasar untuk mempertahankan harga diri.

2.3 Sifat Suka Damai atau Toleransi

Orang Melayu tahu diri. Ia selalu menghargai orang lain, sebagaimana menghargai dirinya sendiri. Oleh karena itu, ia selalu terbuka dan berlapang dada. Setiap orang yang datang ke kampung halamannya selalu diberi pertolongan. Mereka beranggapan, orang tidak boleh tidur di jalan atau minum di sumur. “Biar rumah sempit, tapi hati lapang”. Orang yang dapat menghargai orang lain adalah orang yang berhati mulia. Kebaikan hati akan meningkatkan harga atau martabat diri, sekaligus martabat kampung halamannya.


Akibat dari sifat toleransi ini, orang Melayu sangat senang bertolak ansur, tidak cerewet atau banyak cing-cong, dan gampang berurusan. “Cincai-cincailah”, kata orang Cina. Sifat suka bertolak ansur dan tidak cerewet itu menyebabkan orang Melayu disegani para pendatang. Sifat ini juga menyebabkan orang Melayu suka mengalah, karena orang Melayu tidak mau ribut dan berselisih paham, yang akan menyebabkan harga dirinya luntur.

2.4  Sifat Sederhana

Orang Melayu selalu berpikir sederhana. Mereka tidak mau memikirkan suatu hal yang rumit dan sulit. Hidup selalu dilihat dari segi kesederhanaan, sederhana dalam pergaulan, memiliki harta, memakai pakaian dan perhiasan, berkata-kata, ketika bersuka ria, dalam cita-cita, dan sederhana dalam berusaha mencari rezeki. Sifat kesederhanaan ini juga berpangkal dari sifat tahu diri dan sadar diri. Orang Melayu sadar, bahwa hidup di dunia ini hanya sementara, segala isi dunia adalah milik Tuhan, hidup yang berlebihan tidak akan membuat hidup bahagia, dan hidup bahagia bukan pada harta, tetapi tertanam dalam hati. Pandangan hidup itu menyebabkan orang Melayu tenang, tidak tergesa-gesa, tidak tamak, tidak serakah, serta tidak berlomba-lomba mencari harta dan kedudukan.
Sifat sederhana menyebabkan orang Melayu tidak memiliki skala besar dalam berusaha dan bersaing dengan orang lain yang datang ke daerah Melayu. Sikap ini juga merupakan salah satu kerisauan cendekiawan Melayu, sebab orang Melayu abad ini tidak lagi berhadapan dengan kehidupan serba lamban dan sederhana. Orang Melayu harus melihat kembali kenyataan-kenyataan yang terjadi di luar dirinya. Orang Melayu harus berpartisipasi aktif memacu diri dalam era science dan teknologi yang memerlukan cara berpikir lebih future oriented.
Pandangan orang Melayu yang penulis nilai negatif adalah pandangan bahwa kemiskinan merupakan warisan keturunan yang tidak dapat diubah. Pandangan ini terlihat dalam pepatah yang berbunyi “Rezeki secupak tak kan dapat jadi segantang”. Dalam syair dikatakan (Ahmad, 1964: 46).
Jangan banyak pikir-memikir
Takdir tak dapat dimungkir
Nasib nak miskin tentulah fakir
Bolehlah tadbir menyalahi takdir
Rezeki secupak sudah terbentang
Ke mana dikejar tak dapat digantang
Nasib berhutang mesti berhutang
Janji nak malang, malanglah datang
Berdasarkan pandangan ini, penulis berpendapat bahwa orang Melayu kurang bergairah untuk kaya. Pepatah lain yang selalu didengungkan oleh orang tua berbunyi “Surga bagi orang kafir di dunia ini. Surga bagi kita orang Melayu yang beragama Islam di akhirat”. Dengan ajaran ini, memperbaiki hidup seolah-olah tidak ada gunanya. Apalagi berlomba-lomba berebut harta serta berebut pangkat dan kedudukan, karena semua itu bukan untuk orang Melayu. Oleh karena itu, orang Melayu kelihatan seperti orang yang malas berusaha, malas mencari yang lebih banyak, dan malas memperbaiki taraf hidup. Mereka puas dengan hidup sederhana.

2.5  Sifat Sentimentil dan Riang
 Konsekuensi dari sifat tahu diri dan sadar akan harga diri menjadikan orang Melayu sangat sentimentil. Oleh karena mereka tahu akan kekurangan dan derajatnya dalam stratifikasi sosial, maka mereka selalu menekan perasaan. Keinginan dan hasratnya ditahan agar harga dirinya tidak hilang. Untuk menyalurkan gejolak perasaannya, mereka mengungkapkannya dalam bentuk lagu-lagu sedih, serta dalam nada-nada dan rentak yang sentimentil. Akan tetapi mereka tidak larut dalam kesedihan yang tak berkesudahan. Kesedihan dan kemalangan juga disalurkan dengan rentak dan nada gembira, seperti tercermin dalam rentak dan lagu-lagu berirama jpget, Patam-patam, Mainang, dan Zapin. Orang Melayu sadar bahwa meratapi kesedihan tidak akan mengubah nasib yang sudah ditakdirkan. “Apa guna kita bersedih, lebih baik kita bersuka ria”. Inilah satu imbangan dari sifat sentimentil yang mewarnai corak watak kepribadian orang Melayu.
2.6  Sifat Mempertahankan Harga Diri
Di atas telah diuraikan sifat orang Melayu yang baik dan menyenangkan. Sifat-sifat yang menyenangkan itu selalu terpancar dalam setiap interaksi sosial. Dalam interaksi sering terjadi kemacetan komunikasi yang disebabkan oleh ketidakcocokan watak yang menyertai orang yang sedang berkomunikasi. Kemacetan komunikasi itu sering terjadi karena tidak adanya sikap saling menghargai. Apabila salah seorang yang sedang berkomunikasi merasa harga dirinya hilang, maka ia akan merasa tersinggung. Dalam keadaan tersinggung, ia akan mengambil sikap protes dengan cara memutuskan hubungan. Sikap ini dikenal dengan istilah merajuk.

Merajuk berarti menutup diri untuk membicarakan masalah-masalah yang menyebabkan perasaannya tersinggung. Sikap merajuk itu diperlihatkan oleh orang Melayu sebagai tanda tidak setuju terhadap sikap, tingkah-laku, dan pandangan orang yang menyinggung perasaannya. Apabila sikap merajuk yang diperlihatkan tidak dihargai, bahkan diremehkan, maka ia akan mengambil sikap menjauhkan diri. Kadang-kadang ia pindah ke kampung atau negeri lain. Menjauhkan diri bertujuan untuk menghindarkan pertemuan dengan orang-orang yang telah menyinggung perasaannya. Sikap merajuk atau menjauhkan diri diambil, apabila ia merasa tak perlu memperpanjang persoalan yang kurang berarti. Tidak ada artinya bersikeras terhadap hal-hal yang kurang berarti demi mempertahankan harga diri. Namun demikian, apabila dalam interaksi terjadi pencemaran yang menjatuhkan harga diri seseorang, maka hilangnya harga diri itu akan dijawab dengan sikap amuk atau mengamuk.

Amuk atau mengamuk ialah suatu sikap untuk membela harga diri yang telah dicemarkan oleh seseorang. Harga diri dinilai tercemar apabila seseorang dipermalukan dan tidak mudah dihapuskan dalam waktu singkat. Perbuatan-perbuatan yang dipandang amat memalukan seseorang antara lain anak perempuannya dicemarkan orang, istrinya dilarikan orang, istrinya serong, dan kaum kerabatnya dihina orang. Dengan kata lain, sikap amuk timbul bila ia merasa dirinya telah dipecundangi atau dicabar orang. Akan tetapi, tidak semua hal tersebut menimbulkan sikap amuk, karena sikap amuk adalah suatu sikap paling akhir yang dapat dilakukan. Apabila telah memutuskan untuk mengamuk demi membela harga dirinya, ia harus mendahului dengan suatu sumpah (sesumbar). Sesumbar atau sumpah bertujuan untuk menimbulkan semangat, membulatkan tekad, menambah kekuatan, dan sekaligus mengumumkan kepada masyarakat bahwa sikap itu telah menjadi keputusan yang tak boleh ditarik lagi. Dengan sesumbar berarti seseorang telah memilih jalan akhir untuk memulihkan harga dirinya, yang berarti juga memutuskan segala hubungan dengan dunia dan masyarakat. Tekad amuk hanya mempunyai dua pilihan yang semuanya negatif, yaitu mati atau masuk penjara.

Oleh karena itu, sebelum memutuskan sikap amuk, seseorang harus kembali pada sikap tahu diri dan sadar diri dengan cara mempertimbangkan segala akibat yang ditimbulkan oleh amuk. Ia harus mempertimbangkan dirinya, anak istrinya, keluarganya, sanak saudaranya, dan sebagainya. Apabila memutuskan amuk, berarti ia hanya bertekad untuk mati atau menderita di penjara.

Tekad untuk mati ini menyebabkan cara berpikir, sikap, dan tindakannya berubah. Perubahan itu menyebabkan seseorang menjadi liar, kasar, bengis, tidak peduli, tidak terkontrol, dan bertekad membunuh untuk memuaskan naluri yang paling buas. Dalam keadaan seperti itu, jiwa orang tersebut menjadi abnormal, hilang keseimbangan, dan pandangannya tidak jernih. Ia disebut naik pitam. Dalam hatinya bersemi marah dan tekad membinasakan. Dalam keadaan seperti itu, ia tidak lagi dapat membedakan siapa lawan dan siapa kawan. Sikap ini menjadi lebih gila apabila korban telah jatuh. Untuk menghalanginya, ia harus dihindari atau dibinasakan. Oleh karena itu, sikap amuk amat jarang terjadi. Bila seseorang telah sesumbar dan senjata telah diasah atau dicabut, maka ia harus melaksanakan, dan jika tidak, ia akan disebut sebagai seorang pengecut.

Seseorang yang telah menjadi pengecut, harga dirinya akan lenyap, sehingga sesumbar dan menarik senjata sangat jarang dilakukan. Orang lebih suka bersikap sabar atau mengalah. Orang kemudian berkesimpulan bahwa orang Melayu bersifat sabar atau suka mengalah, karena dengan sikap ini ia dapat mempertahankan harga dirinya. Sikap amuk selalu dihindarkan, karena sikap ini paling tidak disukai oleh orang Melayu. Sikap ini sesungguhnya merupakan kompleksitas kepribadian orang Melayu yang bersifat irasional, tidak human, sebagai sifat kontras dari sifat-sifat lain yang luwes dan menyenangkan.

2.7  Sifat Saling Menghormati Dan Saling Memberi
Orang Melayu Riau juga mengenal dan menganut sifat saling menghormati dan saling memberi dengan istilah menanam budi yang bertujuan untuk menanam budi. Tinggi rendah derajat seseorang selalu diukur dari budi yang diberikan kepada orang lain. Semakin banyak menanam budi, kedudukan dan kehormatan seseorang di masyarakat akan semakin tinggi. Bagi orang Melayu, kehalusan dan ketinggian budi menjadi hal yang utama. Menanam budi tidak hanya berbentuk pemberian materi, tetapi juga dapat berbentuk bantuan tenaga, pemikiran, serta perlakuan dan tutur-bahasa yang sopan dan halus.
Menurut Kamus Antropologi, pengertian saling memberi dan saling menerima berkaitan dengan perasaan, martabat, dan penghormatan (penghargaan) terhadap diri sendiri (Winick, 1958: 231). Berdasarkan pengamatan dan hasil laporan para ahli sosial budaya, terutama ahli antropologi, diketahui bahwa hampir di seluruh kelompok masyarakat ditemui gejala saling menghormati dan saling memberi. Dengan kata lain, pola saling menghormati dan saling memberi merupakan gejala hakiki yang ditemukan dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Namun, gejala tersebut bukan suatu aktivitas yang sama dan seragam dalam setiap masyarakat. Pola saling memberi itu berbeda dan bervariasi, karena kebutuhan manusia untuk saling memberi, saling membantu, dan saling mengasihi terbentuk dalam konteks nilai-nilai budaya yang berlaku. Dengan demikian, setiap pola saling menghormati dan saling memberi yang terdapat dalam setiap masyarakat manusia bersifat unik, yang berarti satu-satunya dan tidak sama dengan yang lain.
Begitu juga dengan pola saling menghormati dan saling memberi yang terdapat di dalam masyarakat Melayu. Gejala tersebut tidak lepas dari nilai-nilai adat-istiadat Melayu yang membentuk karakter, serta perasaan-perasaan yang menyertai setiap tindakan yang tampak dalam setiap interaksi.
Seperti telah disebutkan di atas pola saling menghormati dan saling memberi adalah salah satu gejala sosial. Artinya, kegiatan tersebut terjadi dalam situasi interaksi seseorang dengan orang lain atau sekelompok orang. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, pola dalam sifat saling menghormati dan saling memberi yang hidup dalam masyarakat Melayu tersebut dikenal dengan istilah menanam budi, menabur budi, atau membuat budi. Ketiga istilah tersebut mempunyai arti yang sama.

a. Menanam, Menerima, dan Membalas Budi
Menurut orang Melayu, budi berarti baik. Menanam budi berarti melakukan perbuatan yang baik kepada orang lain (Ahmad, 1965:171). Dalam berbuat baik, tersirat perasaan memupuk persahabatan, rasa kasih, ingin membantu, dan persaudaraan. Menanam budi dapat juga disebut berbuat budi. Menanam budi erat kaitannya dengan sifat orang Melayu yang tahu diri dan mempertahankan harga diri.
Orang yang tahu diri dan ingin mempertahankan harga dirinya akan selalu menanam budi. Semakin banyak orang menanam budi, semakin mulia hati dan martabatnya dipandang orang. Dengan kata lain, semakin banyak memberi, maka semakin tinggi budi seseorang. Selain beberapa sifat yang telah disebutkan dalam uraian di atas, sifat suka menanam budi merupakan salah satu sifat menonjol dalam kehidupan pribadi setiap orang Melayu. Dalam menanam budi terkandung nilai kebaikan sebagai nilai tertinggi dalam pandangan hidup orang Melayu. Baik buruk perangai atau watak seseorang selalu dinilai dari budi yang diberikannya kepada orang lain.
Jika diamati dengan seksama, gejala saling menghormati dan saling memberi dalam masyarakat Melayu tampak dalam tiga kegiatan yang saling berkaitan, yaitu menanam budi (memberi), menerima budi (menerima), dan membalas budi (membalas atau mengembalikan).

b. Menanam Budi
 Menanam budi disebut juga membuat budi atau menabur budi. Orang yang menanam budi disebut penanam budi. Menanam budi yang dilakukan oleh si penanam budi bertujuan untuk berbuat baik. Si penanam budi memberikan sesuatu yang dimiliki yang dipandangnya layak disertai dengan niat ikhlas untuk memberikan sesuatu kepada seseorang yang dinilai patut atau layak. Adapun jenis-jenis budi yang biasa diberikan mencakup benda, tenaga, sopan-santun, tutur-bahasa dan tegur-sapa, kunjung-mengunjungi, pinjam-meminjam, tanda mata, menjemput makan, suruh seraya, mintak pialang, mintak bagi, dan mintak.
Dalam kedua belas situasi interaksi tersebut seseorang memiliki peluang untuk menanamkan budinya kepada orang lain. Kedua belas situasi tersebut dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu (a) pemberian yang diberikan oleh si penanam budi dan (b) pemberian yang diminta oleh orang yang ingin menerima budi. Pada kategori pertama, kegiatan menanam budi (memberi) secara aktif datang dari si penerima budi. Kategori ini meliputi memberi benda, tenaga (diberi atau diminta), sopan-santun, tutur-bahasa dan tegur-sapa, kunjung-mengunjungi, pinjam-meminjam, tanda mata, dan menjemput makan. Pada kategori kedua, kegiatan menanam budi (memberi) diminta dengan sengaja oleh si penerima budi. Jenis yang termasuk dalam kategori ini antara lain suruh seraya, mintak pialang, mintak bagi, dan mintak. Agar kedua belas situasi di atas jelas, maka berikut ini diuraikan satu persatu secara singkat.
Memberi benda. Benda yang biasa diberikan sebagai alat penanam budi adalah makanan, buah-buahan, hasil bumi, hasil laut, hasil perburuan, dan oleh-oleh. Pemberian harus memperhatikan kualitas, kelangkaan, perasaan kebersamaan, dan tanda ingat. Faktor kualitas perlu diperhatikan, agar bentuk, rasa, dan rupa benda yang diberikan dalam keadaan baik. Pepatah Melayu mengatakan,
Jika ingin berbudi kepada orang Berikanlah barang yang terbaik Janganlah memberi barang yang sudah tak terpakai
Benda juga dapat diberikan apabila memang amat langka, seperti air zam-zam. Dalam keadaan langka, patokan benda bukan lagi bentuk, rasa, dan jumlah. Pemberian benda yang langka berkaitan dengan perasaan kebersamaan, karena benda yang langka harus dibagi rata, sehingga semua orang (tetangga) dapat merasakannya. Dalam keadaan demikian, yang dipentingkan adalah perasaan bersama. Jangan sampai memutihkan mata, menghampakan dada, terutama terhadap anak-anak. Pemberian yang sedikit itu sebagai simbol tanda ingat. Artinya, si pemberi tidak melupakan orang lain yang menjadi sahabatnya. Pemberian yang mengandung nilai tanda ingat bukan barangnya yang dinilai, akan tetapi perasaan ingat si pemberi yang dipentingkan. Si pemberi sadar benar akan dirinya, agar tidak terperangkap dalam sifat lokek atau tamak. Sifat tamak mencerminkan sifat tidak tahu menanam budi.
Memberikan tenaga. Tenaga juga digunakan untuk menanam budi. Menggunakan tenaga sebagai alat menanam budi dapat dilakukan, terutama oleh orang-orang yang tidak memiliki benda. Dengan tenaga, seseorang memberikan bantuan atau pertolongan kepada orang yang mengharapkan bantuannya. Bantuan yang diberikan berupa: (a) bantuan ketika seseorang sakit; (b) bantuan berganjal (sejenis gotong royong), mengambil ramuan kayu rumah atau kayu bakar ke hutan; (c) bantuan kepada orang yang mengadakan pesta (perkawinan, khitanan, memotong rambut, dan berbagai kenduri); (d) bantuan pada keluarga yang sedang tertimpa kemalangan, misalnya tertimpa musibah kematian.
Tenaga sebagai alat menabur budi dibedakan menjadi tenaga yang diberikan dan tenaga yang diminta. Kedua jenis tenaga tersebut sangat berkaitan erat dengan sikap tahu diri dan sadar diri. Tenaga secepatnya diberikan kepada orang yang memerlukan, seperti mengunjungi orang sakit dan melayat. Tenaga tidak diberikan begitu saja kepada orang yang sedang mengadakan pesta, dan orang tidak akan memberikan tenaganya jika tidak diundang dengan aturan adat.

Sopan-Santun. Sopan-santun adalah sikap dan tingkah-laku yang halus dan tertib yang tampak ketika seseorang berinteraksi. Sikap dan tingkah-laku yang halus tercermin dari gerak-gerik kepala, mata, bibir, bahu, tangan, jari, badan, kaki, air muka, dan cara berpakaian. Sopan-santun dilakukan kepada kedua orang tua (ibu dan bapak), kerabat, orang-orang tua dalam masyarakat, dan pemimpin-pemimpin masyarakat. Gerak-gerik yang halus juga tercermin ketika seseorang bersalaman, berbicara, menunjuk, menghadap orang tua, makan bersama, berpakaian, berjalan, dan sebagainya. Tingkah-laku yang dinilai tertib, penuh sopan-santun, dan penuh penghormatan antara lain:
a) Tidak berbicara keras dengan ibu-bapak, berbicara dengan menyebut diri “saya” atau nama diri dengan panggilan kesayangan orang tua seperti “are”, “dayang”, dan sebagainya. Jika laki-laki, ketika berbicara memakai songkok (peci) dan duduk bersila, dan jika perempuan bersimpuh.

b) Jika lewat di hadapan orang tua atau orang tua sedang bercakap, atau tamu-tamu terhormat sedang duduk-duduk bercakap, maka orang yang lewat harus menundukkan badan sambil tangan kanannya diarahkan ke depan agak ke bawah, sedang tangan kiri diletakkan di bawah pergelangan tangan kanan seolah-olah mengangkat tangan kanan, sambil berkata, “Tabik saya numpang lalu”, dengan berjalan lambat-lambat sambil tumit diangkat sedikit, sehingga badan bertopang pada bagian depan kaki. Maksudnya agar gerakan itu lembut dan tidak mengeluarkan suara dan tidak mengganggu orang tua yang sedang berbicara.
c) Jika ingin mempersilakan orang atau orang yang amat dihormati masuk ke rumah atau ke suatu majelis, tuan rumah atau orang yang bertugas menyambut tamu dengan cepat mendahului datang menyongsong sambil merendahkan badan, berjabat tangan dengan posisi tangan kanan ditelentangkan, tangan kiri di bawah pergelangan tangan kanan.
d) Jika bersalaman, badan dibungkukkan, tangan kanan memegang telapak tangan kanan orang yang diajak bersalaman, tangan kiri menempel di pergelangan tangan kanan. Kemudian tangan kanan ditarik dengan lembut, ujung jari kanan disentuhkan ke dahi, lalu ujung tangan berpindah menyentuh dada kiri. Artinya, orang yang bersalaman itu benarbenar menghargai dan menghormati tamunya dengan hati tulus ikhlas. Orang yang dihormati merasa sangat dimuliakan, karena diterima dengan hormat, didudukkan di tempat yang layak dengan cara yang paling sesuai dengan perasaan hormat si penerima tamu.
e) Jika menunjukkan sesuatu kepada orang tua atau tamu terhormat, seseorang hendaknya menggunakan ibu jari kanan dan tangan kiri menempel di bawah pergelangan tangan kanan. Jari telunjuk hanya digunakan ketika orang yang marah menuding seseorang yang sedang dimarahi.

f) Jika berpapasan dengan orang tua, orang yang muda menyapa terlebih dahulu, “Hendak ke mana Pak Ngah?” Ketika menyapa, ia berhenti di pinggir jalan, lalu meneruskan perjalanan setelah orang yang dihormati melewatinya.
g) Jika bertemu orang tua yang membawa beban berat, orang muda diwajibkan mengantarkan beban orang tua itu sampai ke rumah. Ia harus menunda perjalanannya dahulu, kecuali orang tua itu menolak dengan alasan tidak mau mengganggu perjalanan anak muda tersebut. Apalagi kalau ia bertemu dengan orang tuanya sendiri yang sedang membawa beban berat. Ia harus mengantar beban itu ke rumah. Jika orang muda (lakilaki) bertemu seorang gadis di jalan dan ia kenal, ia harus menyapanya dengan tegur sapa yang halus dan tidak boleh berhenti untuk berbicara, kecuali jika gadis itu masih kerabatnya. Namun tetap tidak boleh bergurau panjang lebar dengan suara besar. Jika hal ini terjadi, tingkah-laku demikian dianggap tidak sopan atau sumbang. Tingkah-laku sumbang ialah tingkah-laku pergaulan laki-laki dan perempuan yang melanggar norma adat-istiadat. Sumbang dapat juga berupa sumbang kata, sumbang tingkah, sumbang niat, dan sumbang pergaulan.
h) Ketika makan, masing-masing orang yang ikut makan bersama duduk bersila. Yang muda mengambilkan nasi yang lebih tua. Ketika makan, seseorang hendaknya berpakaian sopan dan berpeci (bersongkok). Jika tidak mempunyai peci, ia harus mencari gantinya, misalnya dengan cara meletakkan sebatang rokok atau segulung kertas kecil di antara celah daun telinganya. Ketika makan tidak boleh berbicara kuat-kuat, tidak boleh berbicara kotor dan menjijikkan (menggelikan), tidak boleh berludah atau berdahak (membuang lendir mulut), dan sebagainya. Jika orang muda selesai makan, ia harus menunggu orang yang lebih tua selesai, setelah itu barulah mencuci tangannya.
Menurut tata tertib lama, apabila makan dengan lauk kerang rebus, maka kerang itu harus dibuka dengan sebelah tangan, yaitu dengan tangan kanan. Jika ingin membalik ikan harus minta izin terlebih dahulu kepada yang lebih tua. Meletakkan atau mengangkat hidangan harus dilakukan dengan cara yang paling sopan. Saat ini tingkah-laku sopan-santun makan tersebut telah banyak mengalami perubahan. Sudah banyak orang Melayu yang makan sambil duduk di kursi, karena hidangan disajikan di atas meja. Pada beberapa keluarga modern juga sudah ada yang menggunakan sendok-garpu seperti orang Barat.
Orang yang sopan, tertib, dan halus dalam bersikap dan bertingkah-laku terhadap orang lain, berarti ia telah memberikan budi dalam bentuk penghormatan.
Tutur-Bahasa dan Tegur-Sapa. Antara tutur-bahasa dan tegur sapa tidak dapat dipisahkan. Tutur-bahasa ialah bahasa yang halus serta nada suara lembut yang digunakan ketika berbicara dengan orang lain, terlebih kepada orang tua dan orang yang dihormati. Bahasa dan istilah yang digunakan tepat, baik dari segi pangkat (jenjang berdasarkan strata sosial) maupun umur dan jenis kelamin.
Tegur-sapa ialah keramahtamahan dalam menyapa atau menegur seseorang dengan bahasa dan sapaan yang tepat dan hormat. Orang yang ramah disebut baik tegur sapanya, sedangkan orang yang tidak ramah disebut berat mulut. Tutur-bahasa dan tegur-sapa juga dinilai sebagai alat penanam budi. Orang yang halus tutur-bahasanya dan baik tegur-sapanya disebut orang berbudi, karena mencerminkan hati yang baik.
Kunjung-mengunjungi. Berkunjung ke rumah tetangga atau sahabat merupakan tanda keramahan hati. Berkunjung ke rumah seseorang menunjukkan keikhlasan hati yang diiringi sikap bersahabat atau bersaudara.
Kunjung-mengunjungi merupakan salah satu bentuk menanam budi. Berkunjung yang baik dilakukan secara seimbang, artinya, kedua sahabat yang setara, baik usia maupun pangkat, selalu saling berkunjung ke rumah masing-masing. Kunjung-mengunjungi ketika hari raya, terutama kepada yang lebih tua, merupakan keharusan. Kunjung-mengunjungi dapat dilakukan setiap hari pada waktu yang dianggap tepat, yaitu setiap saat selain tengah malam dan subuh. Waktu berkunjung tidak perlu diberitahukan terlebih dahulu. Menurut pepatah Melayu, “Pintu setiap saat terbuka untuk menerima orang, baik siang maupun malam”.
Semakin banyak tamu yang datang ke rumah seseorang, menandakan tuan rumah disukai dan dihormati, karena selalu berlapang dada. Berlapang dada berarti suka menerima kunjungan dengan hati yang jernih dan ikhlas. Rumah yang jarang dikunjungi orang, karena tuan rumahnya kurang berlapang dada sering disebut “tangga rumahnya berlumut”, karena jarang diinjak orang.

Pinjam-meminjam. Pinjam-meminjam merupakan suatu kegiatan interaksi sosial yang selalu tampak dalam kehidupan orang Melayu yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan. Dalam kegiatan pinjam-meminjam, juga tersedia kesempatan bagi orang yang ingin menanam budi. Pinjam-meminjam itu akan berbalasan. Pinjam-meminjam terjadi apabila seseorang dalam keadaan sesak atau berada dalam situasi yang sangat memerlukan sesuatu yang sangat dibutuhkan saat itu. Meminjam hanya dilakukan dalam keadaan “sesak”. Orang yang mau meminjamkan sesuatu kepada orang yang dalam keadaan sesak, disebut orang yang “melepas sesak”. Orang seperti itu disebut orang berbudi.
Tanda Mata. Tanda mata merupakan pemberian kepada seseorang yang dikasihi. Tanda mata dapat berupa perhiasan, pakaian, atau senjata. Tanda mata merupakan lambang kasih sayang atau kenang-kenangan agar si pemakai selalu ingat kepada si pemberi. Oleh karena itu, tanda mata merupakan benda-benda yang tahan lama yang dapat dipakai, disimpan, atau dijadikan alat perhiasan. Kadang-kadang pemberian tanda mata merupakan suatu keharusan kepada sanak yang baru berumah tangga. Tanda mata semacam itu diserahkan bila kedua mempelai datang menyembah (sungkem) ke rumah sanak keluarga terdekat. Dengan demikian, tanda mata merupakan alat untuk menanam atau menabur budi.
Menjemput Makan. Menjemput atau mengundang makan sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat Melayu. Orang yang diundang biasanya kerabat dekat yang baru datang dari jauh, sahabat atau teman akrab yang baru saja bertemu setelah sekian lama berpisah, dan sahabat-sahabat dekat yang disenangi. Ada tiga kriteria orang yang dikenal, yaitu pertama, kenalan yang boleh dibawa ke rumah dan boleh dikenalkan dengan seluruh keluarga. Kedua, kenalan yang hanya boleh dibawa minum di kedai kopi. Orang demikian jangan dibawa ke rumah, apalagi dikenalkan kepada keluarga. Ketiga, kenalan yang dikenal di jalan. Orang demikian tidak boleh diajak minum ke kedai kopi, apalagi dibawa ke rumah. Kenalan yang diundang makan ke rumah adalah kenalan yang benar-benar akrab dan dapat dipercaya. Menjemput makan juga salah satu bentuk menanam budi kepada orang-orang yang diundang makan.
Suruh-Seraya. Suruh-seraya adalah memohon bantuan kepada seseorang secara halus. Di sini terlihat bahwa penanam budi tidak berasal dari orang yang ingin menanam budi saja, tetapi diminta oleh orang yang ingin menerima budi. Suruh-seraya biasanya dalam bentuk tenaga. Dalam interaksi suruh-seraya terjadi saling memberi dan saling menerima budi.

Mintak Pialang. Mintak pialang merupakan istilah yang dipakai untuk meminta tolong membelikan benda atau barang dengan menggunakan uang orang yang dimintai tolong. Uang itu akan diganti setelah barang atau benda yang dipesan sampai. Mintak pialang juga sebagai jalan menanam budi yang dapat diberikan kepada orang yang meminta bantuan.

Mintak Bagi. Mintak bagi berarti minta izin membeli barang-barang atau benda yang dimiliki seseorang. Biasanya barang atau benda tersebut tidak ada di tempat lain. Mintak bagi sangat tergantung dari sikap orang yang memiliki barang. Ia dapat menjualnya atau memberikan saja. Ia dapat menyatakan “tidak” terhadap orang yang tidak disenangi, atau ia menyatakan agar diambil saja, tidak usah dibayar. Dalam interaksi mintak bagi itu, orang berkesempatan untuk menanam budi dan menerima budi.
Mintak. Mintak berarti minta. Minta dilakukan apabila orang meminta sesuatu, baik benda, buah-buahan, hasil bumi, dan sebagainya. Mintak hanya dilakukan kepada orang yang amat dikenal. Mintak tidak dapat dilakukan terhadap sembarang orang. Apabila dilakukan kepada orang yang tak dikenal atau kurang akrab, maka perbuatan mintak itu sangat menjatuhkan harga diri.
Akan tetapi dalam proses mintak, orang yang memiliki barang atau benda mendapat kesempatan untuk menanam budi. Barang atau benda yang diminta biasanya berupa barang-barang kecil seperti pucuk-pucuk daun, daun obat, sirih, daun pisang, daun inai, dan sebagainya. Benda-benda tersebut jika dinilai dengan uang nilainya sangat rendah. Dalam mintak, yang diutamakan bukan nilai barangnya, akan tetapi nilai budinya.
Dari uraian di atas terlihat bahwa orang Melayu sangat menghargai dan mengutamakan budi. Budi lebih penting daripada materi. Materi atau benda adalah alat untuk menanam atau membuat budi. Kuatnya nilai menanam budi atau menabur budi sebagai salah satu watak orang Melayu dapat dipelajari dari pantun-pantun atau nyanyian seperti berikut:
Pulau Pandan jauh ke tengah

Gunung Daik bercabang dua


Hancur badan dikandung tanah

Budi baik terkenang juga

Pisang emas bawa berlayar

Masak sebiji di atas peti

Hutang emas dapat dibayar

Hutang budi dibawa mati

Dari Penyengat ke Tanjungpinang

Sarat dengan ubi keladi

Adik teringat abang terkenang

Karena ingat bahasa dan budi

Musalmah memakai sanggul

Turun ke sawah menanam padi
Emas sekoyan dapat kupikul

Aku tak sanggup menanggung budi

Puas sudah menanam ubi

Nenas juga disukai orang

Puas sudah menanam budi

Emas juga dikenang orang


Dari pantun-pantun tersebut terlihat bahwa budi menjadi ukuran kebaikan seseorang. Kadang-kadang budi tidak dihargai oleh si penerima budi. Dalam keadaan seperti itu, si pemberi budi meratap dan merajuk karena si penerima budi lebih menghargai uang dan ringgit daripada budi. Pemberian budi memang tidak selalu berjalan mulus. Kadangkadang budi yang diberikan itu mendatangkan rasa sedih, kesal, dan tersinggung, karena tidak diterima sebagaimana yang diharapkan. Pemberian budi mempunyai dua motif, pertama, pemberian bermotif berbuat baik, semata-mata agar diingat dan dikenang orang. Kedua, pemberian bermotif mengharapkan suatu balasan. Penanaman budi seperti ini dapat mempersulit orang yang menerima budi.

Penanaman budi sebagai ciri pola saling memberi yang telah mendarah daging dalam kehidupan orang Melayu tidak mempunyai motif untuk bersaing mengangkat martabat atau gengsi di masyarakat. Namun, ada anggota masyarakat yang melakukan kegiatan saling memberi dengan maksud saling berlomba-lomba untuk meningkatkan martabat diri (Mauss, 1967:18).

c. Menerima Budi

Budi diberikan kepada orang lain seperti misalnya saudara sekerabat, tetangga, dan sahabat karib. Orang yang menerima budi disebut penerima budi. Semakin banyak ia menerima budi, semakin banyak ia merasa berhutang budi. Menurut adat-istiadat Melayu, budi yang diberikan harus diterima dan dihargai sebagai tanda penghargaan dengan menyampaikan ucapan terima kasih. Kadang-kadang ucapan terima kasih disampaikan dalam bentuk ungkapan “Terima kasih daun keladi, kalau lebih minta lagi”. Orang yang menolak pemberian budi berarti tidak ingin menjalin persahabatan, tidak mau dibantu, ditolong, atau dikenang. Berarti ia mampu berdiri sendiri di tengah masyarakat. Orang yang tidak menerima budi dinilai tinggi hati, angkuh, dan harga dirinya amat tinggi. Penolakan budi merupakan suatu pernyataan sikap tidak bersahabat. Oleh karena itu, budi sekecil apapun harus diterima agar si pemberi merasa senang, puas, dan tidak malu atau kehilangan muka.


Orang yang banyak menerima budi tanpa dapat mengimbangi dengan budi yang telah dilimpahkan kepada dirinya atau keluarganya disebut sudah termakan budi atau menanggung budi. Orang yang sudah termakan budi orang lain biasanya merasa amat berhutang budi. Hutang budi menurut pantun Melayu tidak dapat dihargai dengan apapun. Budi tidak dapat dibayar dengan uang, karena budi mengandung kebaikan yang susah dilunasi. Oleh karena itu, budi tidak akan dapat dibalas sampai mati. Budi akan dibawa ke kubur bersama penerimanya. Sebaliknya, kebaikan budi itu akan terkenang (diingat) selalu, sekalipun jasadnya hancur dikandung tanah.

Oleh karena budi tidak dapat dilunasi, maka budi mengikat batin si penerima dan si pemberi. Kadang-kadang si penerima budi mendapat kesulitan, karena di waktu-waktu sesudahnya si pemberi budi mengharapkan sesuatu dari si penerima budi, namun permintaan itu sulit untuk dipenuhi. Oleh karena telah termakan budi, maka si penerima terpaksa dengan segala keberatan hati meluluskan permintaan itu. Di sini letak kesulitan yang dihadapi oleh orang yang telah banyak menerima budi atau termakan budi. Oleh karena itu, kadang-kadang terjadi penanaman budi hanya sebagai alat untuk mendapatkan imbalan (balasan) dari si penerima budi. Penanaman budi yang demikian telah menyimpang dari tujuan penanaman budi yang sesungguhnya.

Dalam hal serupa, si penerima budi harus berhati-hati. Jika ada tanda-tanda yang menuju ke arah itu, ia harus waspada dan berusaha mengelak untuk tidak menerima budi dengan cara yang amat halus, agar si pembuat budi tidak kehilangan muka. Dalam pantun dikatakan:

Turun ke sawah menanam padi

Hendak dijual ke Pekan Lama

Jangan suka menanggung budi

Kerap kali jadi binasa


Walaupun orang tahu ada penanaman budi yang menimbulkan kesulitan, namun si penerima budi dengan cepat dapat membedakan budi yang sesungguhnya dan budi yang palsu.

d. Membalas Budi

Sesuai dengan tujuan menanam budi, yaitu untuk berbuat baik, maka si penerima budi tidak diwajibkan membayar atau membalas budi yang diterimanya. Dengan kata lain, tidak ada kewajiban untuk membalas budi seseorang. Akan tetapi, setiap orang yang menerima budi merasa berkewajiban membalas kebaikan yang diberikan dengan kebaikan pula. Membalas budi tersebut sebagai tanda si penerima budi tahu membalas budi. Membalas budi dapat dilakukan dalam berbagai bentuk pemberian, undangan, bantuan tenaga, pengabdian, sopan-santun, tegur-sapa, dan pengorbanan. Dengan kata lain, pembalasan budi disesuaikan dengan kemampuan seseorang.

Sehubungan dengan membalas budi ini dikenal istilah “orang tak tahu membalas budi”. Orang yang disebut “tak tahu membalas budi” ialah orang yang membalas kebaikan yang diberikan orang kepadanya dengan sikap dan tingkah-laku yang berlawanan, seperti mencemarkan nama si pemberi budi, melupakan budi dengan cara tidak mau menghormati, menegur, menyapa, dan datang berkunjung, serta bicara dengan kata-kata kasar. Kadang-kadang perbuatan tidak tahu membalas budi itu tampak dalam tingkahlaku yang lebih kasar dan keras. Dengan kata lain, orang yang tidak tahu membalas budi itu tidak mengingat sedikit pun budi baik yang telah diterimanya. Pepatah Melayu selalu mengingatkan, “Janganlah tempat makan dijadikan tempat berak”. Orang yang menjadikan tempat makan menjadi tempat berak adalah orang yang “tak tahu membalas budi”.


Perbuatan tidak membalas budi itu bila diketahui oleh orang yang pernah memberi budi disebut “kedapatan budi”. Kedapatan budi berarti melakukan perbuatan yang tidak layak atau tidak pantas yang ditujukan kepada seseorang yang pernah memberi budi. Perbuatan tidak pantas itu dapat berupa mencemarkan nama, memfitnah, menganiaya, menipu, dan sebagainya. Orang yang kedapatan budi itu biasanya dinilai berperangai tidak baik, sehingga tidak perlu dijadikan sahabat. Orang yang kedapatan budi disebut dalam ungkapan sebagai: Menggunting dalam lipatan, pagar makan tanaman, membesarkan anak buaya, susu dibalas dengan tuba, musuh dalam selimut, dan di luar lurus di dalam bengkok. Orang yang tak tahu membalas budi memiliki sifat-sifat licik, curang, palsu, dan sebagainya.

Kesimpulan

            Dalam realitas kehidupan sehari-hari sekarang ini kebanyakan orang melayu masih memiliki sifat-sifat yang notabene merupakan perlambang keperibadian melayu, Kebiasaan itu sudah menjadi adat kebiasaan yang meresap dan merupakan salah satu ciri sifat kepribadian orang Melayu yang sesuai dengan adat istiadat melayu itu sendiri. Sifat ini dapat dinilai secara positif maupun negatif, tergantung dari sudut pandang mana orang menilainya. Yang lebih penting adalah melalui tulisan ini orang menjadi tahu karakteristik/keperibadian dalam bentuk kebiasaan hidup orang Melayu sehari-hari. Semoga.

Sabtu, 23 Oktober 2010

Makalah Kurikulum Pendidikan

Kurikulum Pendidikan



SEPRI
10814002579
PBI / IV / F



ENGLISH DEPARTMENT
EDUCATION AND TEACHER’S TRAINING FACULTY
STATE ISLAMIC SUSKA UNIVERSITY Of RIAU
2010
1.1 Pengertian Kurikulum
suatu program pendidikan yang termasuk kurikulum dan kegiatan kokurikulum yang merangkumi semua pengetahuan, kemahiran, norma, nilai, unsure kebudayaan dan kepercayaan untuk membantu perkembangan seseorang murid dengan sepenuhnya dari segi jasmani, rohani, mental dan emosi serta untuk menanam dan mempertingkatkan nilai moral yang diingini dan untuk menyampaikan pengetahuan
1.2 komponen-komponen kurikulum
Kurikulum memiliki lima komponen utama, yaitu : (1) tujuan; (2) materi; (3) strategi, pembelajaran; (4) organisasi kurikulum dan (5) evaluasi. Kelima komponen tersebut memiliki keterkaitan yang erat dan tidak bisa dipisahkan. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan diuraikan tentang masing-masing komponen tersebut.
a. Tujuan
Mengingat pentingnya pendidikan bagi manusia, hampir di setiap negara telah mewajibkan para warganya untuk mengikuti kegiatan pendidikan, melalui berbagai ragam teknis penyelenggaraannya, yang disesuaikan dengan falsafah negara, keadaan sosial-politik kemampuan sumber daya dan keadaan lingkungannya masing-masing. Kendati demikian, dalam hal menentukan tujuan pendidikan pada dasarnya memiliki esensi yang sama. Seperti yang disampaikan oleh Hummel (Uyoh Sadulloh, 1994) bahwa tujuan pendidikan secara universal akan menjangkau tiga jenis nilai utama yaitu:
  1. Autonomy; gives individuals and groups the maximum awarenes, knowledge, and ability so that they can manage their personal and collective life to the greatest possible extent.
  2. Equity; enable all citizens to participate in cultural and economic life by coverring them an equal basic education.
  3. Survival ; permit every nation to transmit and enrich its cultural heritage over the generation but also guide education towards mutual understanding and towards what has become a worldwide realization of common destiny.)
Dalam perspektif pendidikan nasional, tujuan pendidikan nasional dapat dilihat secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistrm Pendidikan Nasional, bahwa : ” Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”..
Tujuan pendidikan nasional yang merupakan pendidikan pada tataran makroskopik, selanjutnya dijabarkan ke dalam tujuan institusional yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai dari setiap jenis maupun jenjang sekolah atau satuan pendidikan tertentu.
Dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2007 dikemukakan bahwa tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah dirumuskan mengacu kepada tujuan umum pendidikan berikut.
  1. Tujuan pendidikan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
  2. Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
  3. Tujuan pendidikan menengah kejuruan adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.
Tujuan pendidikan institusional tersebut kemudian dijabarkan lagi ke dalam tujuan kurikuler; yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai dari setiap mata pelajaran yang dikembangkan di setiap sekolah atau satuan pendidikan.
Berikut ini disampaikan contoh tujuan kurikuler yang berkaitan dengan pembelajaran ekonomi, sebagaimana diisyaratkan dalam Permendiknas No. 23 Tahun 2007 tentang Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar :
Tujuan Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di SMP/MTS
  • Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya
  • Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial
  • Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan
  • Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global.
Terlepas dari rangkaian tujuan di atas bahwa perumusan tujuan kurikulum sangat terkait erat dengan filsafat yang melandasinya. Jika kurikulum yang dikembangkan menggunakan dasar filsafat klasik (perenialisme, essensialisme, eksistensialisme) sebagai pijakan utamanya maka tujuan kurikulum lebih banyak diarahkan pada pencapaian penguasaan materi dan cenderung menekankan pada upaya pengembangan aspek intelektual atau aspek kognitif.
Apabila kurikulum yang dikembangkan menggunakan filsafat progresivisme sebagai pijakan utamanya, maka tujuan pendidikan lebih diarahkan pada proses pengembangan dan aktualisasi diri peserta didik dan lebih berorientasi pada upaya pengembangan aspek afektif.
Pengembangan kurikulum dengan menggunakan filsafat rekonsktruktivisme sebagai dasar utamanya, maka tujuan pendidikan banyak diarahkan pada upaya pemecahan masalah sosial yang krusial dan kemampuan bekerja sama.
Sementara kurikulum yang dikembangkan dengan menggunakan dasar filosofi teknologi pendidikan dan teori pendidikan teknologis, maka tujuan pendidikan lebih diarahkan pada pencapaian kompetensi.
B. Materi Pembelajaran
Dalam menentukan materi pembelajaran atau bahan ajar tidak lepas dari filsafat dan teori pendidikan dikembangkan. Seperti telah dikemukakan di atas bahwa pengembangan kurikulum yang didasari filsafat klasik (perenialisme, essensialisme, eksistensialisme) penguasaan materi pembelajaran menjadi hal yang utama. Dalam hal ini, materi pembelajaran disusun secara logis dan sistematis, dalam bentuk :
  1. Teori; seperangkat konstruk atau konsep, definisi atau preposisi yang saling berhubungan, yang menyajikan pendapat sistematik tentang gejala dengan menspesifikasi hubungan – hubungan antara variabel-variabel dengan maksud menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut.
  2. Konsep; suatu abstraksi yang dibentuk oleh organisasi dari kekhususan-kekhususan, merupakan definisi singkat dari sekelompok fakta atau gejala.
  3. Generalisasi; kesimpulan umum berdasarkan hal-hal yang khusus, bersumber dari analisis, pendapat atau pembuktian dalam penelitian.
  4. Prinsip; yaitu ide utama, pola skema yang ada dalam materi yang mengembangkan hubungan antara beberapa konsep.
  5. Prosedur; yaitu seri langkah-langkah yang berurutan dalam materi pelajaran yang harus dilakukan peserta didik.
  6. Fakta; sejumlah informasi khusus dalam materi yang dianggap penting, terdiri dari terminologi, orang dan tempat serta kejadian.
  7. Istilah, kata-kata perbendaharaan yang baru dan khusus yang diperkenalkan dalam materi.
  8. Contoh/ilustrasi, yaitu hal atau tindakan atau proses yang bertujuan untuk memperjelas suatu uraian atau pendapat.
  9. Definisi:yaitu penjelasan tentang makna atau pengertian tentang suatu hal/kata dalam garis besarnya.
  10. Preposisi, yaitu cara yang digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran dalam upaya mencapai tujuan kurikulum.
Materi pembelajaran yang didasarkan pada filsafat progresivisme lebih memperhatikan tentang kebutuhan, minat, dan kehidupan peserta didik. Oleh karena itu, materi pembelajaran harus diambil dari dunia peserta didik dan oleh peserta didik itu sendiri. Materi pembelajaran yang didasarkan pada filsafat konstruktivisme, materi pembelajaran dikemas sedemikian rupa dalam bentuk tema-tema dan topik-topik yang diangkat dari masalah-masalah sosial yang krusial, misalnya tentang ekonomi, sosial bahkan tentang alam. Materi pembelajaran yang berlandaskan pada teknologi pendidikan banyak diambil dari disiplin ilmu, tetapi telah diramu sedemikian rupa dan diambil hal-hal yang esensialnya saja untuk mendukung penguasaan suatu kompetensi. Materi pembelajaran atau kompetensi yang lebih luas dirinci menjadi bagian-bagian atau sub-sub kompetensi yang lebih kecil dan obyektif.
C.Strategi Pembelajaran
Telah disampaikan di atas bahwa dilihat dari filsafat dan teori pendidikan yang melandasi pengembangan kurikulum terdapat perbedaan dalam menentukan tujuan dan materi pembelajaran, hal ini tentunya memiliki konsekuensi pula terhadap penentuan strategi pembelajaran yang hendak dikembangkan. Apabila yang menjadi tujuan dalam pembelajaran adalah penguasaan informasi-intelektual,–sebagaimana yang banyak dikembangkan oleh kalangan pendukung filsafat klasik dalam rangka pewarisan budaya ataupun keabadian, maka strategi pembelajaran yang dikembangkan akan lebih berpusat kepada guru. Guru merupakan tokoh sentral di dalam proses pembelajaran dan dipandang sebagai pusat informasi dan pengetahuan. Sedangkan peserta didik hanya dianggap sebagai obyek yang secara pasif menerima sejumlah informasi dari guru. Metode dan teknik pembelajaran yang digunakan pada umumnya bersifat penyajian (ekspositorik) secara massal, seperti ceramah atau seminar. Selain itu, pembelajaran cenderung lebih bersifat tekstual.
Strategi pembelajaran yang berorientasi pada guru tersebut mendapat reaksi dari kalangan progresivisme. Menurut kalangan progresivisme, yang seharusnya aktif dalam suatu proses pembelajaran adalah peserta didik itu sendiri. Peserta didik secara aktif menentukan materi dan tujuan belajarnya sesuai dengan minat dan kebutuhannya, sekaligus menentukan bagaimana cara-cara yang paling sesuai untuk memperoleh materi dan mencapai tujuan belajarnya. Pembelajaran yang berpusat pada peserta didik mendapat dukungan dari kalangan rekonstruktivisme yang menekankan pentingnya proses pembelajaran melalui dinamika kelompok.
Pembelajaran cenderung bersifat kontekstual, metode dan teknik pembelajaran yang digunakan tidak lagi dalam bentuk penyajian dari guru tetapi lebih bersifat individual, langsung, dan memanfaatkan proses dinamika kelompok (kooperatif), seperti : pembelajaran moduler, obeservasi, simulasi atau role playing, diskusi, dan sejenisnya.
Dalam pembelajaran teknologis dimungkinkan peserta didik untuk belajar tanpa tatap muka langsung dengan guru, seperti melalui internet atau media elektronik lainnya. Peran guru dalam pembelajaran teknologis lebih cenderung sebagai director of learning, yang berupaya mengarahkan dan mengatur peserta didik untuk melakukan perbuatan-perbuatan belajar sesuai dengan apa yang telah didesain sebelumnya.
Berdasarkan uraian di atas, ternyata banyak kemungkinan untuk menentukan strategi pembelajaran dan setiap strategi pembelajaran memiliki kelemahan dan keunggulannya tersendiri.
Terkait dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, belakangan ini mulai muncul konsep pembelajaran dengan isitilah PAKEM, yang merupakan akronim dari Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan. Oleh karena itu, dalam prakteknya seorang guru seyogyanya dapat mengembangkan strategi pembelajaran secara variatif, menggunakan berbagai strategi yang memungkinkan siswa untuk dapat melaksanakan proses belajarnya secara aktif, kreatif dan menyenangkan, dengan efektivitas yang tinggi.
D. Organisasi Kurikulum
            Terdapat enam ragam pengorganisasian kurikulum, yaitu:
  1. Mata pelajaran terpisah (isolated subject)
  2. Mata pelajaran berkorelasi
  3. Bidang studi (broad field);
  4. Program yang berpusat pada anak (child centered),.
  5. Inti Masalah (core program),
  6. Ecletic Program.
Penjelasan lengkap tentang organisasi kurikulum ini terdapat pada sub materi berikutnya.
E. Evaluasi Kurikulum
Evaluasi merupakan salah satu komponen kurikulum. Dalam pengertian terbatas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa tingkat ketercapaian tujuan-tujuan pendidikan yang ingin diwujudkan melalui kurikulum yang bersangkutan. Sebagaimana dikemukakan oleh Wright bahwa : “curriculum evaluation may be defined as the estimation of growth and progress of students toward objectives or values of the curriculum
Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa kinerja kurikulum secara keseluruhan ditinjau dari berbagai kriteria. Indikator kinerja yang dievaluasi tidak hanya terbatas pada efektivitas saja, namun juga relevansi, efisiensi, kelaikan (feasibility) program. Sementara itu, Hilda Taba menjelaskan hal-hal yang dievaluasi dalam kurikulum, yaitu meliputi ; “ objective, it’s scope, the quality of personnel in charger of it, the capacity of students, the relative importance of various subject, the degree to which objectives are implemented, the equipment and materials and so on.”
Agar hasil evaluasi kurikulum tetap bermakna diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu. Dengan mengutip pemikian Doll, dikemukakan syarat-syarat evaluasi kurikulum yaitu “acknowledge presence of value and valuing, orientation to goals, comprehensiveness, continuity, diagnostics worth and validity and integration.”
Evaluasi kurikulum juga bervariasi, bergantung pada dimensi-dimensi yang menjadi fokus evaluasi. Salah satu dimensi yang sering mendapat sorotan adalah dimensi kuantitas dan kualitas. Instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi diemensi kuantitaif berbeda dengan dimensi kualitatif. Instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi dimensi kuantitatif, seperti tes standar, tes prestasi belajar, tes diagnostik dan lain-lain. Sedangkan, instrumen untuk mengevaluasi dimensi kualitatif dapat digunakan, questionnare, inventori, interview, catatan anekdot dan sebagainya
2. Hubungan Kurikulum Dengan Pendidikan

Hubungan kurikulum dengan pendidikan dapat dilihat dari peranan kurikulum itu sendiri dalam pendidikan, yaitu:

1. Kurikulun sebagai subjek akademis

Ciri-ciri kurikulum subjek akademis:
1.Tujuan kurikulum: memberi pengetahuan yang solid, serta melatih siswa menggunakan  ide-ide dan proses penelitian.
2.Menggunakan metode ekspositori dan inkuiri.
3.Bentuk evaluasi bervariasi disesuaikan dengan tujuan dan sifat mata pelajaran. Dalam bidang studi humaniora  digunakan bentuk

2.kurikulum sebagai humanistic
   Cirri-cirinya adalah sebagai berikut :
*      Tujuan pendidikan: proses perkembangan pribadi yang dinamis
*      Menuntut hubungan yang emosional yang baik antara guru dan murid
*      Prinsip: menekankan integrasi intelektual, emosional, dan tindakan
*      Evaluasi mengutamakan proses dari pada hasil. Tidak ada kreteria. Penilaian bersifat subjektif
3. kurikulum sebagai rekonstruksi social
    Cirri-cirinya :
*      Memusatkan perhatian pada problem yang terjadi di masyarakat
*      Bersumber pada aliran interaksional; pendidikan bukan upaya sendiri melainkan kegiatan bersama, interaksi, kerja sama
*      Tokoh; Harold Rug, Theodore Brameld
4. Kurikulum sebagai teknologik
Cirri-cirinya :
*      Mengacu pada perkembangan teknologi
*      Pemanfaat teknologi dalam pembelajaran;
*       Bentuk hardware/ perangkat keras disebut teknologi alat (tools technology)
*      Bentuk software/ perangkat lunak disebut teknologi sitem (system technology)

3. Asas-asas Kurikulum
Guru, sebagai pengembang kurikulum dalam skala mikro, perlu memahami kurikulum dan asas-asas yang mendasarinya. Nasution (2008:11-14) menjelaskan bahwa ada empat asas yang mendasari pengembangan kurikulum. Keempat asas tersebut adalah:
a. Asas Filosofis
Sekolah bertujuan mendidik anak agar menjadi manusia yang “baik”. Faktor “baik” tidak hanya ditentukan oleh nilai-nilai, cita-cita, atau filsafat yang dianut sebuah negara, tetapi juga oleh guru, orang tua, masyarakat, bahkan dunia. Kurikulum mempunyai hubungan yang erat dengan filsafat suatu bangsa, terutama dalam menentukan manusia yang dicita-citakan sebagai tujuan yang harus dicapai melalui pendidikan formal. Kurikulum yang dikembangkan harus mampu menjamin terwujudnya tujuan pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.
Jadi, asas filosofis berkenaan dengan tujuan pendidikan yang sesuai dengan filsafat negara. Perbedaan filsafat suatu negara menimbulkan implikasi yang berbeda di dalam merumuskan tujuan pendidikan, menentukan bahan pelajaran dan tata cara mengajarkan, serta menentukan cara-cara evaluasi yang ditempuh. Apabila pemerintah bertukar, tujuan pendidikan akan berubah sama sekali. Di Indonesia, penyusunan, pengembangan, dan pelaksanaan kurikulum harus memperhatikan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Garis-Garis Besar Haluan Negara sebagai landasan filosofis negara.
Mengapa filsafat sangat diperlukan dalam dunia pendidikan? Menurut Nasution (2008: 28), filsafat besar manfaatnya bagi kurikulum, yakni:
- filsafat pendidikan menentukan arah ke mana anak-anak harus dibimbing. Sekolah ialah suatu lembaga yang didirikan oleh masyarakat untuk mendidik anak menjadi manusia dan warga negara yang dicita-citakan oleh masyarakat itu. Jadi, filsafat menentukan tujuan pendidikan.
- dengan adanya tujuan pendidikan ada gambaran yang jelas tentang hasil pendidikan yang harus dicapai, manusia yang bagaimana yang harus dibentuk.
- filsafat juga menentukan cara dan proses yang harus dijalankan untuk mencapai tujuan itu.
- filsafat memberikan kebulatan kepada usaha pendidikan, sehingga tidak lepas-lepas. Dengan demikian terdapat kontinuitas dalam perkembangan anak.
- tujuan pendidikan memberikan petunjuk apa yang harus dinilai dan hingga mana tujuan itu telah tercapai.
- tujuan pendidikan memberi motivasi dalam proses belajar-mengajar, bila jelas diketahui apa yang ingin dicapai.
b. Asas Psikologi Anak dan Psikologi Belajar
1) Psikologi Anak
Sekolah didirikan untuk anak, untuk kepentingan anak, yakni menciptakan situasi-situasi yang memungkinkan anak dapat belajar mengembangkan bakatnya. Selama berabad-abad, anak tidak dipandang sebagai manusia yang lain daripada orang dewasa. Hal ini tampak dari kurikulum yang mengutamakan bahan, sedangkan anak “dipaksa” menyesuaikan diri dengan bahan tersebut dengan segala kesulitannya. Padahal anak mempunyai kebutuhan sendiri sesuai dengan perkembangannya. Pada permulaan abad ke -20, anak kian mendapat perhatian menjadi salah satu asas dalam pengembangan kurikulum. Kemudian muncullah aliran progresif, yakni kurikulum yang semata-mata didasarkan atas minat dan perkembangan anak (child centered curiculum). Kurikulum ini dapat diapandang sebagai reaksi terhadap kurikulum yang diperlukan orang dewasa tanpa menghiraukan kebutuhan anak.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dlam pengembangan kurikulum adalah:
Anak bukan miniatur orang dewasa
Fungsi sekolah di antaranya mengembangkan pribadi anak seutuhnya.
Faktor anak harus benar-benar diperhatikan dalam pengembangan kurikulum
Anak harus menjadi pusat pendidikan/sebagai subjek belajar dan bukan objek belajar.
Tiap anak unik, mempunyai ciri-ciri tersendiri, lain dari yang lain. Kurikulum hendaknya mempertimbangkan keunikan anak agar ia sedapat mungkin berkembang sesuai dengan bakatnya.
Walaupun tiap anak berbeda dari yang lain, banyak pula persamaan di antara mereka. Maka sebagian dari kurikulum dapat sama bagi semua.
2) Psikologi Belajar
Pendidikan di sekolah diberikan dnegan kepercayaan dan keyakinan bahwa anak-anak dapat dididik, dpat dipengaruhi kelakuannya. Anak-anak dapat belajar, dapat menguasai sejumlah pengetahuan, mengubah sikapnya, menerima norma-norma, menguasai sejumlah keterampilan. Soal yang penting ialah: bagaimana anak itu belajar? Kalau kita tahu betul bagaimana proses belajar berlangsung, dalam keadaan yang bagaimana belajar itu memberikan hasil sebaik-baiknya, maka kurikulum dapat direncanakan dan dilaksanakan dengan cara seefektif-efektifnya.
Oleh sebab belajar itu ternyata suatu proses yang pelik dan kompleks, timbullah berbagai teori belajar yang menunjukkan ketidaksesuaian satu sama lain. Pada umumnya tiap teori mengandung kebenaran. Akan tetapi tidak memberikan gambaran tentang keseluruhan prooses belajar. Jadi, yang mencakup segala gejala belajar dari yang sederhana sampai yang paling pelik. Dengan demikian, teori belajar dijadikan dasar pertimbangan dalam pengembangan kurikulum.
Pentingnya penguasaan psikologi belajar dalam pengembangan kurikulum antara lain diperlukan dalam hal:
- seleksi dan organisasi bahan pelajaran
- menentukan kegiatan belajar mengajar yang paling serasi
- merencanakan kondisi belajar yang optimal agar tujuan belajar tercapai. (Nasution, 2008:57)
3. Asas Sosiologis
Anak tidak hidup sendiri terisolasi dari manusia lain. Ia selalu hidup dalam suatu masyarakat. Di situ, ia harus memenuhi tugas-tugas yang harus dilakukannya dengan penuh tanggung jawab, baik sebagai anak maupun sebagai orang dewasa kelak. Ia banyak menerima jasa dari masyarakat dan ia sebaliknya harus menyumbangkan baktinya bagi kemajuan masyarakat.
Tiap masyarakat mempunyai norma-norma, adat kebiasaan yang harus dikenal dan diwujudkan anak dalam pribadinya, lalu dinyatakannya dalam kelakuan. Tiap masyarakat berlainan corak nilai-nilai yang dianutnya. Tiap anak akan berbeda latar belakang kebudayaanya. Perbedaan ini harus dipertimbangkan dalam kurikulum. Selain itu, perubahan masyarakat akibat perkembangan iptek merupakan faktor yang benar-benar harus dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum. Karena masyarakat merupakan faktor penting dalam pengembangan kurikulum, masyarakat dijadikan salah satu asas.
d. Asas Organisatoris
Asas ini berkenaan dengan masalah bagaimana bahan pelajaran akan disajikan. Apakah dalam bentuk mata pelajaran yang terpisah-pisah, ataukah diusahakan adanya hubungan antara pelajaran yang diberikan, misalnya dalam bentuk broad field atau bidang studi seperti IPA, IPS, Bahasa, dan lain-lain. Ataukah diusahakan hubungan secara lebih mendalam dengan menghapuskan segala batas-batas mata pelajaran (dalam bentuk kurikulum terpadu). Penganut ilmu jiwa asosiasi akan memilih bentuk organisasi kurikulum yang berpusat pada mata pelajaran, sedangkan penganut ilmu jiwa gestalt akan cenderung memilih kurikulum terpadu.
4. Jenis-Jenis Pengorganisasi Kurikulum
            Pengorganisasian kurikulum terdiri atas beberapa jenis, yakni: (1) Kurikulum berdasarkan mata pelajaran (Subject curriculum) yang mencakup mata pelajaran terpisah-pisah (separate subject curriculum), dan mata pelajaran gabungan (correlated curriculum). (2) Kurikulum terpadu (integrated curriculum) yang berdasarkan fungsi sosial, masalah, minat, dan kebutuhan, berdasarkan pangalaman anak didik, dan (3) berdasarkan kurikulum inti (core curriculum).
1)     Subject Curriculum
a)     Separate curriculum
           Tujuan dari kurikulum ini untuk mempermudah anak didik mengenal hasil kebudayaan dan pengetahuan umat manusia tanpa perlu mencari dan menemukan kembali dari apa yang diperoleh generasi sebelumnya. Sehingga anak didik dapat membekali diri dalam menghadapi masalah-masalah dalam hidupnya. Dengan  pengetahuan yang sudah dimiliki dan telah tersusun secara logis dan sistematis tidak hanya untuk memperluas pengetahuan tetapi juga untuk untuk memperoleh cara-cara berpikir disiplin tertentu.
            Keuntungan kurikulum ini, antara lain: (1) memberikan pengetahuan berupa hasil pengalaman generasi masa lampau yang dapat digunakan untuk menafsirkan pengalaman seseorang. (2) mempunyai organisasi yang mudah strukturnya. (3) mudah dievaluasi terutama saat ujian nasional akan mempermudah penilaian. (4) merupakan tuntutan dari perguruan tinggi dalam penerimaan mahasiswa baru. (5) memperoleh respon positif karena mudah dipahami oleh guru, orangtua, dan siswa. (6) mengandung logika sesuai dengan disiplin ilmu nya. Kelemahan kurikulum berdasarkan mata pelajaran antara lain: terlalu fragmentasi, mengabaikan bakat dan minat siswa, penyusunan kurikulumnya menjadi tidak efisien, dan mengabaikan masalah sosial.

b)     Corelated curriculum
           Kurikulum ini merupakan modifikasi kurikulum mata pelajaran. Agar pengetahuan anak tidak terlepas-lepas maka perlu diusahakan hubungan antara dua matapelajaran atau lebih yang dapat dipandang sebagai kelompok namun masih mempunyai hubungan yang erat. Sebagai contoh, saat mengajarkan sejarah ada beberapa mata pelajaran yang berkaitan seperti geografi, sosiologi, ekonomi, antropologi, dan psikologi. Dan mata pelajaran yang digabungkan tersebut menjadi ‘broad field’. Namun demikian tidak bisa mengenyampingkan tujuan instruksionalnya atau yang sekarang lebih dikenal dengan kompetensi dasar, prinsip-prinsip umum yang mendasari, teori atau masalah di sekitar yang dapat mewujudkan gabungan itu secara wajar. Dengan menggunakan kurikulum gabungan diharapkan akan mencegah penguasaan bahan yang terlalu banyak sehingga akan menjadi dangkal dan lepas-lepas sehingga pada gilirannya akan mudah dilupakan dan tidak fungsional. Pada praktiknya kurikulum gabungan ini kurang dipahami para guru sehingga walaupun namanya ‘broad-field’ pada hakikatnya tetap separate subject-centered.

2)     Integrated Currikulum
            Kurikulum terpadu mengintegrasikan bahan pelajaran dari berbagai matapelajaran. Integrasi ini dapat tercapai bila memusatkan pelajaran pada masalah tertentu yang memerlukan pemecahan dari berbagai didiplin ilmu. Sehingga bahan mata pelajaran dapat difungsikan menjadi alat untuk memecahkan masalah. Dan batas-batas antara mata pelajaran dapat ditiadakan. Pengorganisasian kurikulum terpadu ini lebih banyak pada kerja kelompok dengan memanfaatkan masyarakat dan lingkungan sebagai nara sumber, memperhatikan perbedaan individual, serta melibatkan para siswa dalam perencanaan pelajaran. Selain memperoleh sejumlah pengetahuan secara fungsional, kurikulum ini mengutamakan pada proses belajarnya. Kurikulum ini fleksibel, artinya tidak mengharapkan hasil belajar yang sama dengan siswa yang lain. tanggungjawab pengembangannya ada pada guru, orangtua, dan siswa.

3)     Core Curriculum
            Munculnya kurikulum inti ini adalah atas dasar pemikiran bahwa pendidikan memberikan tekanan kepada dua aspek yang berbeda, yakni: (1) adanya reaksi terhadap mata pelajaran teori yang bercerai-berai yang mengakumulasi bahan dan pengetahuan. (2) Adanya perubahan konsep tentang peranan sosial pendidikan di sekolah.
            Dengan demikian, kurikulum inti memberikan tekanan pada keperluan sosial yang berbeda terutama pada persoalan dan fungsi sosial. Sehingga konsep kurikulum inti bersifat ‘society centered’, dengan ciri-ciri sebagai berikut: (1) penekanan pada nilai-nilai sosial, (2) struktur kurikulum inti ditentukan oleh problem sosial dan per-kehidupan sosial, (3) pelajaran umum diperuntukkan bagi semua siswa, (4) aktivitas direncanakan oleh guru dengan siswa secara kooperatif.
5. Perubahan dan Faktor yang Mempengaruhi
Faktor-Faktor yang mempengaruhi Perubahan(Pengembangan) kurikulum, diantaranya :
  • · Filosofis
  • · Psikologis
  • · Sosial budaya
  • · Politik
  • · Pembangunan negara dan perkembangan dunia
  • · Ilmu dan teknologi (IPTEK)
1.  Filosofis
Filsafat memegang peranan penting dalam pengembangan kuikulum. Sama halnya seperti dalam Filsafat Pendidikan, kita dikenalkan pada berbagai aliran filsafat, seperti: perenialisme, essensialisme, eksistesialisme, progresivisme, dan rekonstruktivisme. Dalam pengembangan kurikulum pun senantiasa berpijak pada aliran – aliran filsafat tertentu, sehingga akan mewarnai terhadap konsep dan implementasi kurikulum yang dikembangkan. Dengan merujuk kepada pemikiran Ella Yulaelawati (dalam Sudrajat, 2008), di bawah ini diuraikan tentang isi dari masing-masing aliran filsafat, kaitannya dengan pengembangan kurikulum.
  1. Perenialisme lebih menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran dan  keindahan dari pada warisan budaya dan dampak sosial tertentu. Pengetahuan dianggap lebih penting dan kurang memperhatikan kegiatan sehari-hari. Pendidikan yang menganut faham ini menekankan pada kebenaran absolut , kebenaran universal yang tidak terikat pada tempat dan waktu. Aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu.
  2. Essensialisme menekankan pentingnya pewarisan budaya dan pemberian pengetahuan dan keterampilan pada peserta didik agar dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna. Matematika, sains dan mata pelajaran lainnya dianggap sebagai dasar-dasar substansi kurikulum yang berharga untuk hidup di masyarakat. Sama halnya dengan perenialisme, essesialisme juga lebih berorientasi pada masa lalu.
  3. Eksistensialisme menekankan pada individu sebagai sumber pengetahuan tentang hidup dan makna. Untuk memahami kehidupan seseorang mesti memahami dirinya sendiri.
  4. Progresivisme menekankan pada pentingnya melayani perbedaan individual, berpusat pada peserta didik, variasi pengalaman belajar dan proses. Progresivisme merupakan landasan bagi pengembangan belajar peserta didik aktif.
  5. Rekonstruktivisme merupakan elaborasi lanjut dari aliran progresivisme. Pada rekonstruktivisme, peradaban manusia masa depan sangat ditekankan. Di samping menekankan tentang perbedaan individual seperti pada progresivisme, rekonstruktivisme lebih jauh menekankan tentang pemecahan masalah, berfikir kritis dan sejenisnya.
Aliran Filsafat Perenialisme, Essensialisme, Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang mendasari terhadap pengembangan Model Kurikulum Subjek-Akademis. Sedangkan, filsafat progresivisme memberikan dasar bagi pengembangan Model Kurikulum Pendidikan Pribadi. Sementara, filsafat rekonstruktivisme banyak diterapkan dalam pengembangan Model Kurikulum Interaksional.
2.  Psikologis
Terdapat dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum yaitu:
(1)   psikologi perkembangan dan (2) psikologi belajar.
Psikologi perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu berkenaan dengan perkembangannya. Dalam psikologi perkembangan dikaji tentang hakekat perkembangan, pentahapan perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang berhubungan perkembangan individu, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum. Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar, serta berbagai aspek perilaku individu lainnya dalam belajar, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan.
3.  Sosial-Budaya
Kurikulum dapat dipandang sebagai suatu rancangan pendidikan. Sebagai suatu rancangan, kurikulum menentukan pelaksanaan dan hasil pendidikan. Kita maklumi bahwa pendidikan merupakan usaha mempersiapkan peserta didik untuk terjun ke lingkungan masyarakat. Pendidikan bukan hanya untuk pendidikan semata, namun memberikan bekal pengetahuan, keterampilan serta nilai-nilai untuk hidup, bekerja dan mencapai perkembangan lebih lanjut di masyarakat.
Peserta didik berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan baik formal maupun informal dalam lingkungan masyarakat dan diarahkan bagi kehidupan masyarakat pula. Kehidupan masyarakat, dengan segala karakteristik dan kekayaan budayanya menjadi landasan dan sekaligus acuan bagi pendidikan.
Setiap lingkungan masyarakat masing-masing memiliki sistem-sosial budaya tersendiri yang mengatur pola kehidupan dan pola hubungan antar anggota masyarakat. Salah satu aspek penting dalam sistem sosial budaya adalah tatanan nilai-nilai yang mengatur cara berkehidupan dan berperilaku para warga masyarakat. Nilai-nilai tersebut dapat bersumber dari agama, budaya, politik atau segi-segi kehidupan lainnya.
Sejalan dengan perkembangan masyarakat maka nilai-nilai yang ada dalam masyarakat juga turut berkembang sehingga menuntut setiap warga masyarakat untuk melakukan perubahan dan penyesuaian terhadap tuntutan perkembangan yang terjadi di sekitar masyarakat.
4.  Politik
Wiles Bondi (dalam Sudrajat, 2008) dalam bukunya `Curriculum Development: A Guide to Practice’ turut menjelaskan pengaruh politik dalam pembentukan dan pengembangan kurikulum. Hal ini jelas menunjukkkan bahwa pengembangan kurikulum dipengaruhi oleh proses politik, kerana setiap kali tampuk pimpinan sesebuah negara itu bertukar, maka setiap kali itulah kurikulum pendidikan berubah.
5. Pembangunan Negara dan Perkembangan Dunia
Pengembangan kurikulum juga dipengaruhi oleh faktor pembangunan negara dan perkembangan dunia. Negara yang ingin maju dan membangun tidak seharusnya mempunyai kurikulum yang statis. Oleh karena itu kurikulum harus diubah sesuai dengan perkembangan zaman dan kemajuan sains dan teknologi.
Kenyataan tersebut jelas menunjukkan bahwa perkembangan teknologi telah membawa perubahan yang pesat pada kehidupan manusia di muka bumi ini. Oleh karena itu pengembangan kurikulum haruslah sejajar dengan pembangunan negara dan dunia. Kandungan kurikulum pendidikan perlu menitikberatkan pada mata pelajaran sains dan kemahiran teknik atau vokasional kerana tenaga kerja yang mahir diperlukan dalam zaman yang berteknologi dan canggih ini.
6. Ilmu dan Teknologi (IPTEK)
Kemajuan cepat dunia dalam bidang informasi dan teknologi dalam dua dasa warsa terakhir telah berpengaruh pada peradaban manusia melebihi jangkauan pemikiran manusia sebelumnya. Pengaruh ini terlihat pada pergeseran tatanan sosial, ekonomi dan politik yang memerlukan keseimbangan baru antara nilai-nilai, pemikiran dan cara-cara kehidupan yang berlaku pada konteks global dan lokal.
Selain itu, dalam abad pengetahuan sekarang ini, diperlukan masyarakat yang berpengetahuan melalui belajar sepanjang hayat dengan standar mutu yang tinggi. Sifat pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai masyarakat sangat beragam dan canggih, sehingga diperlukan kurikulum yang disertai dengan kemampuan meta-kognisi dan kompetensi untuk berfikir dan belajar bagaimana belajar (learning to learn) dalam mengakses, memilih dan menilai pengetahuan, serta mengatasi situasi yang ambigu dan antisipatif terhadap ketidakpastian.
Perkembangan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, terutama dalam bidang transportasi dan komunikasi telah mampu merubah tatanan kehidupan manusia. Oleh karena itu, kurikulum seyogyanya dapat mengakomodir dan mengantisipasi laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga peserta didik dapat mengimbangi dan sekaligus mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemaslahatan dan kelangsungan hidup manusia.
6. Prinsip Dasar Pengembangan Kurikulum
Ada sejumlah prinsip yang digunakan dalam pengembangan kurikulum,diantaranya:
a. Prinsip relevansi, Kurikulum dan pengajaran harus disusun sesuai dengan tuntutan kebutuhan dan kehidupan peserta didik
b. Prinsip efektifitas, Berkaitan dengantingkat pencapaian hasil pelaksanaan kurikulum
c. Prinsip efisiensi, Berkaitan dengan perbandingan antara tenaga, waktu, dana, dan sarana yang dipakai dengan hasil yang diperoleh
d. Prinsip kontinuinitas, Kurikulum berbagai tingkat kelas dan jenjangpendidikan disusun secara berkesinambungan
e. Prinsip Fleksibilitas,disamping program yang berlakuuntuk semua anak terdapat pula kesempatan bagi amak mengambil program-program pilihan
f. Prinsip integritas, kurikulum hendaknya memperhatiakn hubungan antara berbagai program pendidikan dalam rangka pembentukan kepribadian yang terpadu
7. Fungsi dan Peran Pengembangan Kurikulum
A.Fungsi Pengembangan Kurikulum
a)Fungsi Kurikulum Dalam Rangka Pencapaian Tujuan Pendidikan

Kurikulum pada suatu sekolah merupakan suatu alat atau usaha mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang didiinginkan sekolah tertentu yang dianggap cukup tepat dan krusial untuk dicapai. Salah satu langkah yang harus dilakukan adalah meninjau kembali tujuan yang selama ini digunakan oleh sekolah bersangkutan (soetopo & Seomanto, 1993:17). Dalam pencapaian tujuan pendidikan yang dicita-citakan, tujuan-tujuan tersebut harus dicapai secara bertahap yang saling mendukung. Sedangkan keberadaan kurikulum disini adalah sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan.

b)Fungsi Kurikulum Bagi Anak Dididik

Keberadaan kurikulum sebagai organisasi belajar merupakan suatu persiapan bagi anak didik. Kalau kita kaitkan dengan pendidikan Islam, pendidikan mesti diorientasikan kepada kepentingan peserta didik, dan perlu diberi pengetahuan untuk hidup pada zamannya kelak. Nabi Muhammad Saw bersabda : didiklah anak-anakmu, karena mereka diciptakan untuk menghdapi zaman yang lain dari zamanmu.
Sebagai alat dalam memcapai tujuan pendidikan, kurikulum diharapkan mampu menawarkan program-program pada anak didik yang akan hidup pada zamannya, dengan latar belakang sosihistoris dan cultural yang berbeda dengan zaman di mana kedua orang tuanya berada.

c)Fungsi Kurikulum Bagi Pendidik Atau Guru

Guru merupakan pendidik propesional yang secara implisit telah merelakan dirinya untuk memikul sebagian tanggung jawab pendidikan yang ada dipundak para orang tua. Orang tua yang menyerahan anaknya ke sekolah, berarti ia telah melimpahkan sebagian tanggng jawab pendidikan anaknya kepada guru atau pendidik. Hal ini, adalah bentuk harapan orang tua, supaya anaknya menemukan guru yang baik , kompeten, dan berkualitas (Ramayulis, 1996:39).

Adapun Fungsi Kurikulum Bagi Guru Atau Pendidik Adalah:

Sebagai pedoman kerja dalam menyusun dan mengorganisasi pengalaman belajar para anak didik.
Sebagai pedoman dalam mengadakan evaluasi terhadap perkembangan anak didik dalam rangka menyerap sejumlah pengalaman yang diberikan.

Langeveld mengajukan lima komponen yang berinteraksi secara aktif dalam proses pendidikan yakni:
Komposisi tujuan pendidikan, sebagai landasan idiil pendidikan dan yang dicapai melalui proses pendidikan tersebut.
Komponen terdidik, sebagai masukan manusiawi yang diperlukan sebagai subjek aktif dan dikenai proses pendidikan tersebut.
Komponen alat pendidikan, sebagai unsur sarana atau objek yang dikenakan kepada terdidik dalam proses pendidikan.
Komponen pendidik, merupakan unsur manusiawi yang membantu mengenalkan alat pendidikan kepada anak didik dan mengarahkan proses pendidikan menuju sasaran yang diharapkan sebagaimana tercantum dalam tujuan pendidikan.
Komponen lingkungan pendidikan, sebagaimana unsur suasana yang membantu dan membeikan udara segar dalam proses pendidikan (Supeno, 1995: 42-43).

d)Fungsi Kurikulum Bagi Kepala Sekolah

Kepala sekolah merupakan administrator dan supervisor yang mempunyai tanggung jawab terhadap kurikulum. Fungsi kurikulum bagi kepala sekolah adalah pertama, sebagai pedoman dalam mengadakan fungsi supervisi, yakni memperbaiki situasi belajar. Kedua, sebagai pedoman dalam melaksanakan supervise dalam menciptakan situasi untuk menunjang siuasi belajar anak ke arah yang lebih baik. Ketiga, sebagai pedoman dalam melaksanakan supervisi dalam memberikan bantuan kepasa guru atau pendidik agar dapat memperbaiki situasi mengajar. Keempat, sebagai seorang administrator, menjadikan kurikulum sebagai pedoman untuk mengembangkan kurikulum pada masa mendatang. Kelima, sebagai pedoman untuk mengadakan evaluasi atas kemajuan belajar mengajar (Soeopo dan Soemanto, 1993: 19).

e)Fungsi Kurikulum Bagi Orang Tua

Bagi orang tua, kurikulum difungsikan sebagai bentuk adanya partisipasi orang tua dalam membantu usaha sekolah dalam memajukan putra-putrinya. Bantuan yang dimaksud dapat berupa konsultasi langsung ke sekolah atau guru mengenai masalah-masalah menyangkut anak-anaknya. Adapun bantuan berupa materi dari orang tua anak dapat melalui lembaga BP-3. Dengan membaca dan memahami kurikulum sekolah, para orang tua dapat mengetahui pengalaman belajar yang diperlukan anak-anak mereka. Sehingga partisipasi orang tua inipun tidak kalah pentingnya dalam menyukseskan proses belajar-mengajar di sekolah.
Meskipun orang tua telah menyerahkan anak-anak mereka kepada sekolah supaya diajarkan ilmu pengetahuan dan dididik menjadi orang yang bermanfaat bagi dirinya, orang tua, keluarga, masyarakat, bangsa, dan agama. Namun demikian, tidak berarti tanggung jawab kesuksesan anaknya secara total diserahkan kepada sekolah atau pendidik. Sebenarnya, keberhasilan tersebut merupakan hasil dari dari sistem kerjasama berdasarkan fungsi masing-masing, meliputi: orang tua, sekolah, dan guru. Oleh karena itu, pemahaman orang tua mengenai kurikulum merupakan hal yang mutlak.

f)Fungsi Sekolah Tingkat Atas

Fungsi kurikulum dalam hal ini dapat dibagi menjadi dua:
1.Pemeliharaan keseimbangan proses pendidikan
2.Penyiapan tenaga baru
Fungsi bagi masyarakat dan pemakai lulusan sekolah
Kurikulum suatu sekolah juga berfungsi bagi masyarakat dan pihak pemakai lulusan sekolah bersangkutan. Dengan mengetahui kurikulum suatu sekolah, masyarakat, sebagai pemakai lulusan, dapat melaksanakan sekurang-kurangnya dua macam:
Ikut memberikan kontribusi dalam memperlancar pelaksanaan program pendidikan yang membutuhkan kerja sama dengan pihak orang tua dan masyarakat.
Ikut memberikan kritik dan saran konstruktif demi penyempurnaan program pendidikan di sekolah, agar lebih serasi dengan kebutuhan masyarakat dan lapangan kerja.
Fungsi penyesuaian
Anak didik hidup dalam suatu lingkungan, sehingga anak didik dituntut untuk mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungan tersebut. Lingkungan senantiasa berubah, tidak statis, bersifat dinamis, karena itu anak didik diharapkan mampu menyesuaikan diri dengan kondisi seperti itu.
Muhammad Fadlil Al-Jamali mengungkapkan bahwa pendidikan yang dapat disarikan dari Al-Qur’an berorientasi:
1.Mengenalkan individu akan perannya di antara sesama makhluk dengan tanggung jawabnya I dalam hidup ini
2.Mengenalkan individu akan individu sosial dan tanggung jawabnya dalam tata hidup bermasyarakat.
3.Mengenalkan individu akan alam ini dan mendorong mereka mengetahui hikmah diciptakannya alam, serta memberikan kemungkinan kepada mereka untuk mengambil manfaat dari alam.
4.Menegakkan individu akan pencipta alam ini dan memerintahkan agar beribadah kepada Allah.
Fungsi Pengintegrasian
Dalam hal ini, orientasi dan fungsi kurikulum adalah mendidik anak agar mempunyai pribadi yang integral. Mengingat anak didik merupakan bagian integral dari masyarakat, pribadi yang terintegrasi itu akan memberikan sumbangan dalam rangka pembentukan atau pengintegrasian masyarakat.
Fungsi perbedaan
Pada prinsipnya, potensi yang dimiliki anak didik itu memang berbeda-beda, dan peran pendidikanlah untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada itu secara wajar, sehingga anak didik dapat hidup dalam masyarakat yang senantiasa beraneka-ragam namun satu tujuan pembangunan tersebut. Berkaitan dengan deverensiasi pada anak didik tersebut, Nabi Saw bersabda: Kami para Nabi diperintahkan untuk menempatkan manusia sesuai dengan potensi akalnya (H.R. Abu Bakar bin Asy-Syakir). Barangkali dapat diinterpretasikan bahwa pendidikan dan kurikulum harus diorientasikan kepada pengembangan potensi yang berbeda-beda dari anak didik, sehingga perlakuan terhadap mereka sepatutnya mempertimbangkan perbedaan kemampuan dan potensi masing-masing.
Fungsi Persiapan
Kurikulum berfungsi mempersiapkan anak didik agar mampu melanjutkan studi lebih lanjut untuk suatu jangkauan yang lebih jauh. Apakah anak didik melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi atau persiapan untuk belajar di dalam masyarakat. Seandainya dia tidak mungkin melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi (Hamalik, 1990:11). Bersiap untuk belajar lebih lanjut tersebut sangat diperlukan, mengingat sekolah tidak mungkin memberikan semua apa yang diperlukan anak didik, termasuk dalam pemenuhan minat mereka.
Fungsi Pemilihan
Dalam pembahasan sebelumnya, telah dijelaskan bahwa fungsi kurikulum adalah deverensiasi yakni memberikan layanan kepada anak didik sesuai dengan perbedaan-perbedaan pada dirinya.
Fungsi Diagnostik
Fungsi diagnostik adalah agar siswa dapat melakukan evaluasi kepada dirinya dan menyadari semua kelemahan dan kekuatan diri sehingga dapat memperbaiki dan mengembangkannya sesuai dengan kemampuannya yang ada, yang pada akhirnya dapat berkembang secara maksimal dalam masyarakat. Hal ini relevan dengan fungsi pendidikan Islam, yakni menanamkan nilai-nilai insani dan nilai-nilai Ilahi pada peserta didik. Menurut Noeng Muhadjir, nilai budaya termasuk insani, sedangkan nilai agama termasuk nilai Ilahi. Relasi antara kedua nilai tersebut menjadi linier-koheren, yang ada hubungan hierarkis dan etis yang menjadi rujukan dan pemandu semua nilai.
Peranan pengembangan kurikulum
Peranan Konservatif
Kebudayaan sudah ada sebelum lahirnya suatu generasi dan tidak akan pernah mati walau generasi yang bersangkutan sudah habis. Kebudayaan yang diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah laku, bahkan kebudayaan terwujud dan didirikan dari perilaku manusia. Kebudayaan mencakup aturan yang berisi kewajiban dan tindakan-tindakan yang diterima dan ditolak atau tindakan yang dilarang dan yang diizinkan. Semua kebudayaan yang sudah membudaya dan sudah ditransmisikan kepada anak didik selaku generasi penerus. Oleh karena itu, semua ini mejadi tanggung jawab kurikulum dalam menafsirkan dan mewariskan nilai-nilai budaya yang mengandung makna membina perilaku anak didik. Sekolah sebagai lambing sosial sangat berperan dalam mempengaruhi perilaku anak sesuai dengan nilai-nilai sosial yang ada dalam masyarakat. Jadi kurikulum bertugas menyimpan dan mewariskan nilai-nilai budaya (Wiryo Kusumo dan Mulyadi, 1988:7).
Peranan Kritis dan Evaluatif
Kebudayaan senantiasa berubah dan bertambah sejalan dengan perkembangan zaman yang terus berputar. Sekolah tidak hanya mewariskan kebudayaan yang ada, melainkan juga menilai dan memilih unsur-unsur kebudayaan yang akan diwariskan. Maksudnya, kurikulum itu selain mentransmisikan nilai-nilai kepada generasi muda, juga sebagai alat mengevaluasi kebudayaan yang ada. Apakah nilai-nilai sosial yang ada atau dibawa itu sesuai atau tidak dengan perkembangan yang akan datang serta apakah perlu diadakan perubahan atau tetap seperti aslinya.
Peran Kreatif
Kurikulum melakukan kegiatan-kegiatan kreatif dan konstruktif, dalam arti menciptakan dan menyusun sesuatu yang baru sesuai dengan kebutuhan sekarang dan masa mendatang dalam masyarakat. Guna membantu setiap individu dalam setap potensinya, kurikulum menciptakan pelajaran, pengalaman, cara berpikir, kemampuan dan ketrampilan baru, sehingga memberkan manfaat bagi masyarakat.
Masyarakat Jepang mungkin bias menjadi sumber inspirasi bagi bangsa kita yang sedang bekerja keras untuk membangun meningkatkan sumberdaya manusia. Ilmu yang diserap bangsa Jepang sebenarnya second hand yang diambil dari Negara maju, atau hasil serapan dari Barat, tetapi bangsa ini tidak menerapkan konsep-konsep yang dipelajarinya begitu saja, melainkan mengembangkan konsep baru berdasarkan acuan yang mereka peroleh dari barat yang kemudian dipadukan dengan budaya dan karakteristik bangsanya.